Pura Pulaki terletak di pesisir pantai Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgrak, di tepi jalan Singaraja- Gilimanuk sekitar 53,5 Km dari kota Singaraja. Kondisi jalan cukup baik. Fauna pendukung terkenal yang sangat menarik ialah kelompok kera dan jalak putih.Pura Pulaki terletak di lereng pegunungan berbatu dan bersemak belukar.
Kisah berdirinya Pura Pulaki tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Cri Waturenggong (1460-1550 M). Pura Pulaki merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) oleh seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, kini Pura Pulaki sudah tampak megah dan luas serta memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa. Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat pada Km 51 dari Singaraja (sekitar 750 M di sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran. Urut- urutan upacara yang diadakan pada piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki, kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat, lalu di Pura Pemutaran dan terakhir di Pura Pabean. Letaknya yang strategis di tepi jalan raya sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Sudah terdapat tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu , antara lain: berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya. Berdasarkan hal itu dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitaan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.
Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku “Bhuwana Tatwa Maharesi Markadeya” yang disusun Ketut Ginarsa. Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku “Dwijendra Tatwa” yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian seperti: “Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.
Keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum...
Read morePulaki Temple is a beautiful and peaceful place to visit, right along the northern coast of Bali. What makes it really special is its location, which is set between the ocean and the hills, with lovely views of the water on one side and lush greenery on the other. The temple itself is impressive, with detailed carvings and a calm, spiritual atmosphere.
There are also monkeys around the temple, which adds a bit of fun, but as always in Bali, it’s best to keep your belongings secure just in case.
It was not crowded when we visited, which made it feel extra peaceful and easy to take in the surroundings at our own pace.
Obviously it's also important to make sure to wear respectful clothing when entering the temple (like covering your shoulders and legs, or wearing a sarong), as this is a sacred place of worship. Dressing appropriately shows respect for the local culture and religious traditions, and is expected at all temples across Bali.
Definitely worth a stop if you are exploring the north of Bali. It's a beautiful mix of nature, culture, and history in a really...
Read moreThis is one of the most famous and visited hindu temple in Bali. The temple is located on the north western part of the island. It is the home for thousands of mongkey living suroounding the temple. They keep looming to the visitor visiting the temple. Actually the temple is now surrlunded and fully covered by a set of iron cage so the monkeys would not be able to come inside the temple and the people can do their worshiping peacefully...
Read more