Berbanggalah warga Kabupaten Lebak karena memiliki salah satu museum yang representative di Banten.Dibangun di tahun 2018 lokasinya masih satu komplek perkantoran dengan Perpustakaan Saija Adinda.
Sebelum dibangun, dahulu gedung ini dikenal sebagai pendopo Kawedanan Rangkasbitung. Sekira tahun 1950-an bangunan ini dipakai sebagai kantor hansip lalu beralih fungsi menjadi kantor badan kepegawaian daerah hingga tahun 2015. Setelah itu bangunan ini sering dipakai sebagai tempat berkumpulnya para seniman sampai akhirnya dipugar menjadi museum.
Komplek Museum Multatuli memiliki tiga bangunan utama yaitu bagian pendopo yang merupakan bangunan tanpa dinding alias bangunan terbuka seringkali dipakai untuk acara workshop, rapat atau seminar.
Lalu ada bangunan utama yang saat ini dipakai sebagai museum. Di dalamnya dibagi-bagi menjadi berbagai fase dan dimulai dengan ruangan pertama yang memiliki kolase wajah Multatuli beserta quotenya. Ada pula patung dada Multatuli yang dibuat dari perunggu serta denah museum serta perpustakaan.
Secara keseluruhan walaupun terbilang sempit museum ini cukup menggambarkan Kabupaten Lebak karena di dalam ruangan museum ada berbagai benda yang mewakili sejarah kabupaten tersebut berikut potensi alam serta manusia yang ada di dalamnya.
koleksi utamanya tentu saja terkait dengan Multatuli mulai dari surat-suratnya kepada raja Belanda saat itu yaitu Raja Willem III yang berisi kegundahannya tentang tata cara pelaksanaan pemerintahan di Rangkasbitung yang ia nilai tak manusiawi, aneka catatan kehidupan masyarakat kuliner bahkan sajak-sajaknya.
Di sini tergambar sekali budaya menulis Multatuli sangatlah tinggi karena ia bahkan memisahkan catatan-catatan tersebut berdasarkan tema-tema yang ia pilih. Mulai dari catatan tentang keluarga nya pribadi, masyarakat, kuliner, percintaan, dan kegemarannya akan sastra dan tentu saja tak kalah penting tentang tata cara pemerintahan. Saya benar-benar kagum melihat bagaimana ia mengorganisasi catatan dan jurnal jurnalnya tersebut. sayang tak ada replika yang bisa dibaca pengunjung kecuali surat-suratnya kepada raja Willem III, padahal saya pengen tahu juga loh isi tulisan Multatuli terutama tentang kehidupan pribadinya.
Kalau Anda malas membaca ada baiknya anda menggunakan bantuan alat audio berupa headphone yang menjabarkan tentang cerita Multatuli namun karena hanya ada satu pengunjung harus bergantian menggunakannya.
Selain itu, ada replika kapal perang Belanda yang digunakan oleh kerajaan Belanda saat itu untuk menyerbu ke nusantara berburu rempah, ada pula aneka biji kopi serta alat penggiling nya, ikat kepala khas suku Baduy dalam dan Baduy luar serta pakaian penguasa Rangkasbitung.
Di dinding, juga ada foto tokoh-tokoh kelahiran Rangkasbitung, atau minimal pernah bersinggungan dengan beberapa wilayah di Kabupaten Lebak. Diantaranya adalah sarjana hukum perempuan pertama asal Indonesia yg lulus dari universitas Leiden Belanda yaitu Maria Ulfah yang ternyata menghabiskan sekolah menengah pertamanya di kota Rangkasbitung.
Selain itu ada pula cerita tentang Eugenia van Bears perempuan campuran Italia, Belanda dan Jawa ini lahir di Rangkasbitung. Ia adalah ibu dari pentolan grup band rock ternama Van Halen yaitu Alex dan Eddie.Tak ketinggalan biografi tokoh-tokoh lainnya seperti Rendra, Tan Malaka dan sutradara Misbach Yusa Biran.
Ada pula peta sejarah serta aneka momentum Kabupaten Lebak sejak pertama didirikan hingga saat ini, dan alat tenun khas Baduy yang dipamerkan di dalam box kaca.
Tak ada tiket yang dipungut untuk masuk ke museum ini. Anda hanya perlu mengisi buku tamu saja. Namun khusus untuk Anda yang datang berombongan sebaiknya mengirimkan surat pemberitahuan dahulu yang ditujukan kepada pemerintah daerah kabupaten Lebak khususnya kepala museum. Maklum ruangan museum sempit sehingga dikhawatirkan rombongan tidak masuk bersamaan bila tidak melakukan pemberitahuan terlebih dahulu.
Bagian luar museum juga asik karena ada patung Saija Adinda serta Multatuli dari Dolorosa Sinaga.
Semoga review ini membantu ya. Chandra Dewi (...
Read moreMohon maaf saya kasih bintang dua bukan tanpa alasan.
Dari sisi infrastruktur, tidak ada masalah. Lokasi Museum Multatuli sangat strategis dan gampang diakses, terletak di alun-alun kota rangkas bitung, berseberangan dengan kantor bupati dan diapit oleh kawasan kuliner pujasera lebak. Dalam kawasannya sendiri cukup baik, Patung Multatuli cukup terawat dan ditempatkan di sisi yang gampang diketahui oleh pengunjung. Terdapat juga fasilitasi perpustakaan dengan arsitek gedung yang cukup baik perpaduan modern dan tradisional.
Saya juga surprise karena ternyata telah dipasangi internet yang dapat diakses siapa saja dengan bebas.
Lalu kenapa bintang dua? Karena "MULTATULI TIDAK PUNYA ARTI APA-APA DI RANGKASBITUNG." Ya, ini adalah hal miris yang saya temui disana.
Sewaktu berkunjung, museum sedang tutup, beberapa pengunjung masih berseliweran di sekitaran museum. Di bagian teras perpustakaan saya bertemu dengan 4orang bocah SMP sedang asik scroll tiktok, ketika saya tanya ternyata mereka nongkrong disitu karena ada internet gratis yang dapat diakses siapa saja hingga jam 5 sore sebelum kawasan museum ditutup.
Saya ambil kesempatan untuk duduk bersama mereka sambil ngobrol. Saya membuka nya dengan pertanyaan: "Tau ga dek patung siapa yang ada disana?"
Dua jawaban yang mengagetkan saya: "Tidak tau bang" "Itu hanya hiasan saja bang"
Saya terbengong-bengong; kok bisa? Bahkan nama patung nya sendiri mereka tidak tau, menurut mereka Multatuli itu nama lokasi.
Saya ajak mereka untuk caritau siapa Multatuli, lebih syok lagi justru merek saling bingung dan tanya satu dengan yang lain. Sontak saya marah sedikit dan minta mereka buka di google di gadget masing-masing, udah dikasih internet gratis malah tiktokan, sampai akhirnya dari googlelah mereka tau bahwa nama asli Multatuli adalah Dowes Deker.
Kami melanjutkan beberapa obrolan lain dengan beberapa topik sembari mengajak mereka caritau di google dan memanfaatkan internet dengan positif.
Ya, itu sekelumit kisah Multatuli yang tidak dianggap oleh bocah kecil di Rangkasbitung.
Saya pun keluar komplek menuju Goa Maria, eh disetop sama salah satu bocah tadi sambil berkata: "Bang, Minta uang...
Read moreLocated next to the Alun-alun (Public Square), the entrance ticket is fairly cheap (IDR 2000). It is quite small and could be better in the flow of each space. I thought i will find more of "Multatuli" collection/story/exhibition. But after introductory of the early colonization, i already see an exit eventhough there is another room next to it. Maybe because there was lack of relic(s) related to the Multatuli or Lebak history that could be shown in this museum.. Hope there will be more addition of the collection in the future (more specific history and relic of Lebak and Multatuli).. I don't expect much but it was quite nice...
Read more