Salah satu saksi bisu masa keemasan kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng Indra Patra terdiri dari sebuah benteng utama berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain yang dua diantaranya telah hancur. Situs arkeologi ini didirikan sekitar tahun 604 M oleh Putra Raja Harsya yang berkuasa di India, yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna. Keberadaan benteng ini menjadi peninggalan sejarah mengenai proses masuknya pengaruh Hindu dari India ke Aceh. Diperkirakan pada saat itu, Kerajaan Hindu, Lamuri, mulai berkembang di daerah Pesisir Utara Aceh Besar. Benteng ini merupakan satu dari tiga benteng yang menjadi penanda wilayah segitiga kerajaan Hindu Aceh, yaitu Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purwa.
Pakar arkeologi Repelita Wahyu Oetomo, dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya yang berjudul 'Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai' mengungkapkan, secara arsitektur, beberapa bagian benteng memang masih memiliki motif bangunan berciri Pra-Islam. Hal ini terlihat antara lain pada dua sumur di area benteng utama yang berbentuk menyerupai stupa. Dalam aspek fungsionalitas, benteng ini mengalami perkembangan sehingga masih dipergunakan hingga masa Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.
Semasa Kesultanan Aceh, benteng ini berperan besar sebagai salah satu garis pertahanan dalam menghadapi Portugis. Benteng ini direbut dari Portugis oleh Darmawangsa Tun Pangkat (Iskandar Muda). Semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) benteng ini, bersama Benteng Inong Balee, Benteng Kuta Lubok dan beberapa benteng lainnya menjadi pusat pertahanan Aceh terutama dalam menghadang serangan dari arah laut. Posisi benteng yang berhadapan dengan Benteng Inong Balee di seberang timur Teluk Krueng Raya berperan strategis dalam mencegah armada Portugis memasuki Aceh melalui teluk ini.
Salah satu keunikan yang dimiliki benteng ini terletak pada susunan konstruksinya yang kokoh. Kekokohan benteng ini terbentuk oleh struktur penyusunnya yang terbuat dari bongkahan batu gunung yang saling merekat kuat satu sama lain. Rahasianya terletak pada adonan yang merekatkan bongkahan-bongkahan batu gunung tersebut.
Adonan tersebut dibuat dari campuran kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat dan putih telur. Penggunaan putih telur sebagai perekat bangunan seperti ini juga dapat kita temukan di beberapa bangunan kuno lain di Nusantara seperti Candi Borobudur...
Read moreLocated around 20km north of Banda Aceh, the site of Indra Patra Fortress contains several structures. The oldest of the structures date to the 7th century and were built by the Hindu Lamuri Kingdom. The second, larger fortress measures 70 x 70 meters, and was built in the early 17th-century during the reign of Iskandar Muda, the sultan of Acèh Darussalam. The second fortification served to protect Banda Aceh from the expanding Portuguese Empire. The walls of the forts are made out of limestone, and testing has shown that they contain high levels of calcium. A third fort is also present at the site, but is...
Read moreGw ke sini pas weekdays, naik kendaraan pribadi dari Banda Aceh, kira-kira 30–40 menit lah. Nyampe sana sekitar jam 3 sore, padahal infonya sih buka sampe jam 5... tapi guess what? Sepi. Banget. Afa beberapa orang yg lagi mancing soang deket pantainya. Bahkan kantor penjaganya kosong kayak ditinggal pindahan. Untung banget gw sempet baca-baca brosur (dapet dari abang2 di Rumah Cut Nyak Dhien), jadi masih ngerti sedikit lah tentang situs ini. Akses jalannya yahh... no sugarcoating deh: parah sih. Dari jalan raya ke dalem, jalannya masih berbatu banget, ga diaspal, ga dicor, paving block aja kagak. Jadi harus extra hati-hati, apalagi kalo bawa motor atau mobil ceper. Tapi pas udah nyampe... oke juga sih. Lokasinya pas di tepi pantai, jadi sekalian bisa duduk-duduk nyantai, denger ombak, angin sepoi-sepoi, chill vibes. Cuman ya... kondisinya agak nggak keurus, banyak pup sapi/kerbau berserakan (no joke), mungkin karena emang lahannya terbuka dan deket sama area penggembalaan. Gapapa sih, tapi kalo bisa dibersihin dikit mah bakal jauh lebih enak dan proper. Secara nilai sejarah, ini tempat keren banget. Ini benteng sisa kejayaan Kerajaan Lamuri — kerajaan Islam tertua di Aceh, yang dulu jadi pintu gerbang masuk Islam di nusantara. Bangunan bentengnya emang udah banyak yang runtuh, tapi masih keliatan jelas bentuk aslinya, dan suasananya tuh khas banget. Ada aura misterius dan tenang gitu. Sebenernya tempat ini punya potensi besar banget buat wisata sejarah, tapi sayangnya belum dimaksimalkan. Gw kasih 4 bintang karena vibes dan nilainya tinggi, tapi fasilitas & perawatan masih PR besar. Kalo lu ke sini, siapin air minum sendiri, jangan ekspektasi ada yang jualan atau ada tour guide standby ya. Tapi worth the experience aih buat lu yang suka sejarah, foto-foto tempat sepi, menikmati perjalanan, atau sekadar healing liat laut sambil...
Read more