Museum Balaputera Dewa Museum bersejarah yang terabadikan dalam lembaran uang sepuluh ribu rupiah. Sayang saat ke sini tanpa rencana, jadi ga sempat bawa uangnya untuk dibandingkan dengan gambar bangunan limasnya.
Sekilas saya cukup takjub dengan luas dan besarnya museum ini. Mirip-mirip seluas museum purba yang pernah saya kunjungi di pulau Jawa.
Dari segi bangunan pun sudah lebih bagus, terang, dan ada tamannya juga. Biaya masuk relatif murah, pengunjung dewasa hanya dikenakan biaya dua ribu rupiah, sedangkan pengunjung anak-anak dikenai tarif tiket seribu rupiah.
Terdapat brosur soal museum, namun itu kita yang harus aktif minta sendiri, karena tidak diberikan langsung bersama tiketnya. Mungkin ini kebijakan masing-masing museum ya ... Ada yang langsung ngasih brosur dan ada yang cukup dipajang saja, kalau ada yang minta baru disuruh ambil atau dikasih.
Berdasarkan pengalaman kami berkunjung kemarin, menurut kami petugasnya kurang ramah dan kurang responsif. Bahkan tampak beberapa petugas yang lewat-lewat di lorong terkesan acuh tak acuh meskipun melihat ada salah satu pengunjung yang tampak kelelahan seperti hampir pingsan. Sangat disayangkan sekali, minimal kalau nggak bisa bantu, paling engga kan umumnya bisa didatangi dan dipastikan lagi kondisinya bagaimana, apa butuh ruang istirahat atau bagaimana, bukan dilewati begitu saja, sudah lihat tapi masih sibuk ngobrol dengan temannya maupun sok sibuk lihat HP-nya.
Positifnya, saya menilai kondisi lantai di museum saat itu cukup bersih. Terimakasih kepada petugas kebersihan yang sudah menjalankan pekerjaannya dengan baik.
Hanya saja ada lagi yang disayangkan. Ketersediaan tempat sampah tidak banyak, karena sebagian tempat sampah dialihfungsikan menjadi tampungan air untuk menampung kebocoran di sana sini. Tadi saya sudah sempat melihat ulasan-ulasan lain dari beberapa pengunjung sebelumnya, dan tampaknya belum ada perubahan maupun perhatian khusus mengenai kebocoran di bangunan museum ini. Dan lagi tempat sampah yang seharusnya disebar di beberapa titik untuk memudahkan pengunjung tertib membuang sampah pada tempatnya, malah dikumpulkan di satu lokasi saja. Di sekitar ruangan kantor petugas.
Meskipun terdapat kebocoran di sana-sini, bukan berarti akses air di sini baik rupanya. Sebab beberapa kran yang saya cek, termasuk kran air di toilet, airnya nggak ngalir. Toilet di museum ini kebersihannya standar toilet umum. Ada yang terisi air dan ada yang baknya kosong melompong, bau pula ada hewan-hewannya. Bahkan di beberapa lubang ventilasi-nya terdapat bungkus rokok, tisu, dll. Pintunya juga rusak, kunci diganjal manual dengan batu. Sabar ya buat pengunjung yang ke sini sendirian. Khawatirnya tau-tau ada yang mbuka pintu toiletnya. Perlu ada teman buat jagain pintu.
Museum sebesar itu, hanya mempunyai satu titik toilet, apalagi ketersediaan air yang kurang, membuat kami menilai kalau museum ini kurang ramah anak dan orangtua. Bayangkan saja, semisal kita membawa anak kecil berkunjung, kita sudah sampai di rumah Limas, namun anak ingin ke toilet. Dengan jarak sejauh itu, berpeluang besar membuat anak kelepasan ngompol selama di jalan. Ibu hamil apa kabar? Buat pengunjung yang hamil dan bawa orang tua, harap bersabar ya ... Tidak rekomended juga buat yang pakai kursi roda karena turunan bidang miring dekat tangga terlalu curam untuk menaik-turunkan kursi roda berpenumpang. Anak kecil pun harus diawasi agar tidak terpeleset di daerah yang kemiringannya cukup curam.
Oiya, sebagai pengamat umum, saya cukup penasaran dengan sistem penyimpanan di museum ini. Biasanya saya perhatikan pada bagian diorama dan box penyimpanan barang yang dipajang, ada semacam kapur, silica gel, pengatur suhu dan kelembaban, dan lain sebagainya untuk menjaga koleksi museum tetap terjaga. Namun pada museum ini saya tidak mendapatinya. Beberapa barang justru ditaruh di kubus-kubus buatan yang tampaknya terbuat dari kertas, baru ditutup box kaca.
Ada kantin di depan. Konsumsi, aman.
Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi baik dari pegawainya maupun kualitas penyimpanan dan...
Read moreSumatera Selatan memiliki sejarah panjang keberadaannya. Provinsi yang sejak berabad lampau dikenal dengan nama Bumi Sriwijaya ini merupakan lokasi berdirinya kerajaan maritim termasyur di nusantara bernama Kerajaan Sriwijaya. Memasuki abad ke-15, berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa hingga kedatangan kolonialisme Belanda ke bumi Sriwijaya. Jauh sebelum itu, menurut Van der Hoop, peneliti asal Belanda, Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah di nusantara yang banyak ditemukan pemukiman dari zaman megalith.
Sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sejarah panjang, Sumatera Selatan tentu memiliki berbagai benda peninggalan bersejarah. Untuk menjaga dan melestarikannya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan kemudian membangun Museum Balaputera Dewa di Jalan Srijaya I No 28, Palembang. Museum yang memiliki luas lahan sekitar 23.565 m2 ini menyimpan 10 jenis koleksi, dengan jumlah koleksi mencapai 3.882 item.
Secara umum, Museum Balaputera Dewa menyimpan berbagai koleksi dari zaman pra-sejarah, zaman Kerajaan Sriwijaya, zaman Kesultanan Palembang, hingga ke zaman kolonialisme Belanda. Berbagai koleksi tersebut dipamerkan di dalam tiga ruang pamer utama. Sebelum memasuki tiga ruang pamer utama, pengunjung akan menyaksikan berbagai koleksi arca di selasar museum. Berbagai replika arca tersebut berasal dari zaman megalith di Sumatera Selatan.
Kebudayaan Megalith atau kebudayaan batu besar di Sumatera Selatan berada di wilayah dataran tinggi Pagaralam. Posisinya berada dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Sumatera Selatan. Di wilayah ini ditemukan 22 lokasi pemukiman budaya megalith. Dari pemukiman tersebut ditemukan benda-benda pra-sejarah berupa arca yang kemudian menjadi koleksi Museum Balaputera Dewa. Berbagai arca yang saat ini menjadi koleksi museum antara lain arca megalith ibu menggendong anak, arca orang menunggang kerbau, hingga arca manusia dililit ular.
Setelah melewati selasar, pengunjung akan memasuki ruang pamer museum. Pada ruangan ini pengunjung akan mendapatkan informasi tentang awal mula sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya di nusantara. Di ruangan ini juga ditemukan koleksi benda peninggalan dari zaman pra-kerajaan Sriwijaya berupa kerajinan tembikar, manik-manik, dan pengecoran logam.
Pada bagian lain ditemukan berbagai replika prasasti yang menjelaskan awal mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut antara lain, prasasti Kedukan Bukit, Relaga Batu, Kota Kapur, Talang Tuo, Boom Baru, Kambang Unglen I, Kambang Unglen II, dan Prasasti Siddhayatra. Selain prasasti, pada ruangan ini pengunjung juga akan menemukan koleksi lain dari zaman Kerajaan Sriwijaya berupa arca Buddha, arca Hindu, dan Fragmen.
Masuk lebih ke dalam, pengunjung akan di bawa menelusuri zaman Kesultanan Palembang. Benda-benda peninggalan zaman ini berupa alat tenun songket. Salah satu koleksi kain songket yang menjadi kebanggaan Museum Balaputera Dewa adalah kain songket dengan motif Naga Besaung yang memiliki panjang 6 meter dengan lebar sekitar 25 cm. Selain itu, pengunjung juga akan menemukan koleksi lain berupa berbagai kerajinan seni ukir Palembang. Berbagai seni ukir tersebut telah teraplikasi dalam rek pengantin, dipan, kursi, hingga hiasan pada pintu rumah. Koleksi seni ukir dari zaman Kesultanan Palembang yang menjadi kebanggaan Museum Balaputera Dewa adalah rumah limas dan rumah ulu yang berada di halaman belakang museum.
Museum Balaputera Dewa dibuka setiap hari kecuali Senin mulai pukul 08.30 WIB hingga 15.00 WIB, dengan harga tiket yang relatif terjangkau. Hanya dengan membayar Rp2.000 untuk orang dewasa dan Rp1.000 untuk anak-anak, pengunjung sudah bisa menikmati kekayaan sejarah yang tersimpan di dalam museum. Dari harga tiket yang murah tersebut, diharapkan masyarakat makin gemar untuk berkunjung ke museum, dan merevitalisasi kembali arti penting sejarah kebudayaan bagi perkembangan suatu masyarakat...
Read moreThe museum had a lot of beautiful collection from megalithic era to the time of Srivijayan Empire. The stone carving is just mesmerizing, I love spending time here watching the display, it is really an incredible piece of history. Some stone carvings date as early as 1st century. There are some rooms that fills with collection of i dont know what because i came on Monday and they were closed. They also have 2 traditional wooden houses installed at this museum. One is "rumah limas", which said to belong to one of the descendant of an arabic sultan, you can see how well off they lived with all the beautiful things inside the house. The other one is "rumah ulu" which is a very simple wooden house used by traveler or trader a long time ago as a transit house or some sort of accomodation. Both are very unique and interesting to see. Unfortunately the display were lack of information, the panel on each artifacts tell us a very limited information. It just feels like a brief introduction. It is also such a pity that the museum building is decaying, its old and starting to show the effect of undermaintenance. I wish whoever in charge of this place can start renovating the building soon. The museum is closed on Mondays so be sure to check the day...
Read more