HTML SitemapExplore
logo
Find Things to DoFind The Best Restaurants

Museum Aceh — Attraction in Banda Aceh

Name
Museum Aceh
Description
Aceh State Museum, popularly known as Aceh Museum or Banda Aceh Museum is a museum in Banda Aceh, Indonesia. It is one of the oldest museum in Indonesia.
Nearby attractions
Masjid Raya Baiturrahman
Jl. Moh. Jam No.1, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Putroe Phang Park
Jl. Merapi No.37, Sukaramai, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Nearby restaurants
STEAK 45
Jalan Tgk Chik Diponegoro No.17, Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23241, Indonesia
Sultan Selim coffee
G8X9+47G, Kampung Baru, Baiturrahman, Banda Aceh City, Aceh 23116, Indonesia
Nasi Gurih Pak Rasyid
Jl. Teuku Chik Di Tiro, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23127, Indonesia
Ayam Bakar Wong Solo
G8V8+FXJ, Jl. Nyak Adam Kamil III, Neusu Jaya, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Family Coffee & Studio Music
Kampung Baru, Baiturrahman, Banda Aceh City, Aceh, Indonesia
Banda Seafood
H84C+4XX, Jl. Teungku Angkasa, Kuta Alam, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh 24415, Indonesia
Restoran Bunda
Simpang 5 Jalan Pantai Perak No.789, Kuta Alam, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh 23121, Indonesia
Inong's Kitchen
Jl. Pangeran Diponegoro No.7B, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23242, Indonesia
Mieso Hendra Hendri
Jl. Moh. Jam No.31, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Rm ridha ilahi banda aceh
jalan Teuku Cik Ditiro, Ateuk Pahlawan, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23127, Indonesia
Nearby hotels
Grand Mahoni Hotel
Jl. Aladin Mansyursyah No.95, Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Rumoh PMI Hotel
Jl. Nyak Adam Kamil II No.1, Ateuk Munjeng, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Wisma Teuku Umar RedPartner
Jl. Tgk. Syech Muda Wali No.45, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Hotel Kyriad Muraya
Jalan Teuku Muhammad, Daud Jl. Moh. Daud Beureuh No.5, Banda Aceh City, Aceh 23122, Indonesia
Hotel Hip Hope
Jl. Moh. Jam No.70, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
Garuda Hotel Managed By Calandra
H838+245, Kampung Baru, Baiturrahman, Banda Aceh City, Aceh 23116, Indonesia
AL HAMBRA HOTEL BANDA ACEH
Jl. Pante Pirak No.10, Simpang Lima, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh 23127, Indonesia
Portola Grand Arabia Hotel
Jl. Prof. A. Majid Ibrahim II No.3, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23246, Indonesia
Ayani Hotel Banda Aceh
Jl. Jend. Ahmad Yani No.20, Peunayong, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh 23122, Indonesia
PLUM Hotel Lading Banda Aceh
Jl. Cut Mutia No.19, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23242, Indonesia
Related posts
Keywords
Museum Aceh tourism.Museum Aceh hotels.Museum Aceh bed and breakfast. flights to Museum Aceh.Museum Aceh attractions.Museum Aceh restaurants.Museum Aceh travel.Museum Aceh travel guide.Museum Aceh travel blog.Museum Aceh pictures.Museum Aceh photos.Museum Aceh travel tips.Museum Aceh maps.Museum Aceh things to do.
Museum Aceh things to do, attractions, restaurants, events info and trip planning
Museum Aceh
IndonesiaAcehBanda AcehMuseum Aceh

Basic Info

Museum Aceh

Jl. Sultan Mahmudsyah No.10, Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116, Indonesia
4.6(1.1K)
Closed
Save
spot

Ratings & Description

Info

Aceh State Museum, popularly known as Aceh Museum or Banda Aceh Museum is a museum in Banda Aceh, Indonesia. It is one of the oldest museum in Indonesia.

Cultural
Family friendly
Accessibility
attractions: Masjid Raya Baiturrahman, Putroe Phang Park, restaurants: STEAK 45, Sultan Selim coffee, Nasi Gurih Pak Rasyid, Ayam Bakar Wong Solo, Family Coffee & Studio Music, Banda Seafood, Restoran Bunda, Inong's Kitchen, Mieso Hendra Hendri, Rm ridha ilahi banda aceh
logoLearn more insights from Wanderboat AI.
Website
museum.acehprov.go.id
Open hoursSee all hours
Mon9 AM - 12 PM, 2 - 4 PMClosed

Plan your stay

hotel
Pet-friendly Hotels in Banda Aceh
Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.
hotel
Affordable Hotels in Banda Aceh
Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.
hotel
The Coolest Hotels You Haven't Heard Of (Yet)
Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.
hotel
Trending Stays Worth the Hype in Banda Aceh
Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.

Reviews

Nearby attractions of Museum Aceh

Masjid Raya Baiturrahman

Putroe Phang Park

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman

4.9

(11.3K)

Open 24 hours
Click for details
Putroe Phang Park

Putroe Phang Park

4.4

(451)

Closed
Click for details

Nearby restaurants of Museum Aceh

STEAK 45

Sultan Selim coffee

Nasi Gurih Pak Rasyid

Ayam Bakar Wong Solo

Family Coffee & Studio Music

Banda Seafood

Restoran Bunda

Inong's Kitchen

Mieso Hendra Hendri

Rm ridha ilahi banda aceh

STEAK 45

STEAK 45

4.6

(77)

Click for details
Sultan Selim coffee

Sultan Selim coffee

4.3

(57)

Click for details
Nasi Gurih Pak Rasyid

Nasi Gurih Pak Rasyid

4.5

(702)

$$

Click for details
Ayam Bakar Wong Solo

Ayam Bakar Wong Solo

4.2

(796)

Click for details
Get the Appoverlay
Get the AppOne tap to find yournext favorite spots!
Wanderboat LogoWanderboat

Your everyday Al companion for getaway ideas

CompanyAbout Us
InformationAI Trip PlannerSitemap
SocialXInstagramTiktokLinkedin
LegalTerms of ServicePrivacy Policy

Get the app

© 2025 Wanderboat. All rights reserved.
logo

Reviews of Museum Aceh

4.6
(1,127)
avatar
5.0
6y

Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914.

F.W. Stammeshaus, Kurator Pertama Museum Aceh dan Kepala Museum Aceh 31 Juli 1915 s/d 1931 Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya.

Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.

Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.

Rumoh Atjeh Tempoe Doeloe Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.

Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.

Tampak salah satu bangunan baru yang berfungsi sebagai Gedung Pertemuan Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr....

   Read more
avatar
5.0
5y

Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914. Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya.

Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.

Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.

Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.

Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.

Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.

Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat...

   Read more
avatar
5.0
1y

Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.[1] Pemakaiannya diresmikanpada tanggal 31 Juli 1915 oleh Jenderal H.N.A. Swart selaku Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh.[2] Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914.

Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya.

Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.

Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.

Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.

Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.

Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr....

   Read more
Page 1 of 7
Previous
Next

Posts

Das SirDas Sir
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914. F.W. Stammeshaus, Kurator Pertama Museum Aceh dan Kepala Museum Aceh 31 Juli 1915 s/d 1931 Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya. Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama. Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat. Rumoh Atjeh Tempoe Doeloe Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas. Tampak salah satu bangunan baru yang berfungsi sebagai Gedung Pertemuan Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Rahmat HidayatRahmat Hidayat
Museum Aceh adalah salah satu museum tertua dan paling penting di Indonesia, yang berlokasi di Banda Aceh, Provinsi Aceh. Museum ini berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pameran berbagai koleksi yang berkaitan dengan sejarah, budaya, dan adat istiadat suku bangsa Aceh. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai Museum Aceh: * Sejarah: Museum ini didirikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1915, awalnya bernama Atjeh Museum. Bangunan aslinya adalah Rumoh Aceh (rumah tradisional Aceh) yang dulunya merupakan paviliun Aceh di pameran kolonial di Semarang pada tahun 1914. Setelah kemerdekaan Indonesia, museum ini menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh dan kemudian statusnya menjadi Museum Negeri Provinsi Aceh pada tahun 1980. * Bangunan: Museum Aceh terdiri dari dua bagian utama: * Rumoh Aceh: Ini adalah bangunan tradisional Aceh yang asli, menjadi ikon utama museum. Di dalamnya, Anda bisa melihat gambaran rumah tradisional Aceh lengkap dengan perabot dan tata letaknya. * Gedung Baru: Dibangun pada tahun 1974, gedung ini menampung ruang pameran permanen, aula konferensi, laboratorium, perpustakaan, dan kantor. * Koleksi: Museum Aceh memiliki koleksi yang sangat beragam, mencakup lebih dari 6.000 benda bersejarah yang diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis, di antaranya: * Geologika: Batuan dan mineral dari daerah Aceh. * Biologika: Flora dan fauna Aceh. * Etnografika: Benda-benda kebudayaan dan adat istiadat Aceh, seperti pakaian tradisional, perkakas sehari-hari, dan perhiasan. * Arkeologika: Peninggalan purbakala, termasuk kapak batu dan artefak dari era prasejarah. * Historika: Benda-benda bersejarah seperti senjata tradisional, manuskrip kuno, mata uang, segel dari Kerajaan Aceh, dan lukisan-lukisan bersejarah. Salah satu koleksi terkenal adalah Lonceng Cakra Donya, hadiah dari Kaisar Yongle dari Tiongkok pada tahun 1411 M. * Numismatika dan Heraldika: Koin dan segel. * Filologika: Manuskrip kuno dan naskah-naskah. * Keramonologika: Keramik Aceh. * Seni Rupa: Karya seni. * Teknologika: Benda-benda teknologi tradisional. Selain itu, museum ini juga menyimpan ribuan buku dari berbagai disiplin ilmu. * Fungsi: Museum Aceh tidak hanya berfungsi sebagai tempat pameran, tetapi juga sebagai pusat penelitian, pendidikan, dan pelestarian budaya Aceh. * Jam Buka: Museum Aceh umumnya buka setiap hari, kecuali hari Jumat dan libur nasional. Jam kunjungannya terbagi dua sesi, yaitu pagi (08.30 - 12.00 WIB) dan siang (14.00 - 16.15 WIB). Namun, disarankan untuk memeriksa situs web resmi museum untuk informasi terkini mengenai jam buka dan kegiatan pemeliharaan. Museum Aceh adalah destinasi yang sangat baik bagi siapa saja yang ingin mendalami kekayaan sejarah dan budaya Aceh.
Kerry Ann MarkleKerry Ann Markle
If international travellers are part of the target to educate people, the museum must improve signage in more than just Indonesian. There are a few posts in English but international guests are mostly left to imagine from the displays or try google translate which become cumbersome. Otherwise ot is a lovely spot to visit to get a sense of traditional archetecture and the diversity of aceh culture.
See more posts
See more posts
hotel
Find your stay

Pet-friendly Hotels in Banda Aceh

Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.

Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914. F.W. Stammeshaus, Kurator Pertama Museum Aceh dan Kepala Museum Aceh 31 Juli 1915 s/d 1931 Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya. Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama. Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat. Rumoh Atjeh Tempoe Doeloe Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas. Tampak salah satu bangunan baru yang berfungsi sebagai Gedung Pertemuan Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Das Sir

Das Sir

hotel
Find your stay

Affordable Hotels in Banda Aceh

Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.

Get the Appoverlay
Get the AppOne tap to find yournext favorite spots!
Museum Aceh adalah salah satu museum tertua dan paling penting di Indonesia, yang berlokasi di Banda Aceh, Provinsi Aceh. Museum ini berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pameran berbagai koleksi yang berkaitan dengan sejarah, budaya, dan adat istiadat suku bangsa Aceh. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai Museum Aceh: * Sejarah: Museum ini didirikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1915, awalnya bernama Atjeh Museum. Bangunan aslinya adalah Rumoh Aceh (rumah tradisional Aceh) yang dulunya merupakan paviliun Aceh di pameran kolonial di Semarang pada tahun 1914. Setelah kemerdekaan Indonesia, museum ini menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh dan kemudian statusnya menjadi Museum Negeri Provinsi Aceh pada tahun 1980. * Bangunan: Museum Aceh terdiri dari dua bagian utama: * Rumoh Aceh: Ini adalah bangunan tradisional Aceh yang asli, menjadi ikon utama museum. Di dalamnya, Anda bisa melihat gambaran rumah tradisional Aceh lengkap dengan perabot dan tata letaknya. * Gedung Baru: Dibangun pada tahun 1974, gedung ini menampung ruang pameran permanen, aula konferensi, laboratorium, perpustakaan, dan kantor. * Koleksi: Museum Aceh memiliki koleksi yang sangat beragam, mencakup lebih dari 6.000 benda bersejarah yang diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis, di antaranya: * Geologika: Batuan dan mineral dari daerah Aceh. * Biologika: Flora dan fauna Aceh. * Etnografika: Benda-benda kebudayaan dan adat istiadat Aceh, seperti pakaian tradisional, perkakas sehari-hari, dan perhiasan. * Arkeologika: Peninggalan purbakala, termasuk kapak batu dan artefak dari era prasejarah. * Historika: Benda-benda bersejarah seperti senjata tradisional, manuskrip kuno, mata uang, segel dari Kerajaan Aceh, dan lukisan-lukisan bersejarah. Salah satu koleksi terkenal adalah Lonceng Cakra Donya, hadiah dari Kaisar Yongle dari Tiongkok pada tahun 1411 M. * Numismatika dan Heraldika: Koin dan segel. * Filologika: Manuskrip kuno dan naskah-naskah. * Keramonologika: Keramik Aceh. * Seni Rupa: Karya seni. * Teknologika: Benda-benda teknologi tradisional. Selain itu, museum ini juga menyimpan ribuan buku dari berbagai disiplin ilmu. * Fungsi: Museum Aceh tidak hanya berfungsi sebagai tempat pameran, tetapi juga sebagai pusat penelitian, pendidikan, dan pelestarian budaya Aceh. * Jam Buka: Museum Aceh umumnya buka setiap hari, kecuali hari Jumat dan libur nasional. Jam kunjungannya terbagi dua sesi, yaitu pagi (08.30 - 12.00 WIB) dan siang (14.00 - 16.15 WIB). Namun, disarankan untuk memeriksa situs web resmi museum untuk informasi terkini mengenai jam buka dan kegiatan pemeliharaan. Museum Aceh adalah destinasi yang sangat baik bagi siapa saja yang ingin mendalami kekayaan sejarah dan budaya Aceh.
Rahmat Hidayat

Rahmat Hidayat

hotel
Find your stay

The Coolest Hotels You Haven't Heard Of (Yet)

Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.

hotel
Find your stay

Trending Stays Worth the Hype in Banda Aceh

Find a cozy hotel nearby and make it a full experience.

If international travellers are part of the target to educate people, the museum must improve signage in more than just Indonesian. There are a few posts in English but international guests are mostly left to imagine from the displays or try google translate which become cumbersome. Otherwise ot is a lovely spot to visit to get a sense of traditional archetecture and the diversity of aceh culture.
Kerry Ann Markle

Kerry Ann Markle

See more posts
See more posts