Kedaton Kutai Kartanegara adalah istana milik Sultan Kutai Kartanegara yang terletak di pusat kota Tenggarong, Kalimantan Timur, Indonesia. Istana ini selesai dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2002 setelah dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Meski telah resmi menjadi milik Sultan Kutai Kartanegara, istana baru ini lebih difungsikan sebagai kantor lembaga kesultanan serta sebagai tempat pelaksanaan acara seremonial oleh Sultan atau Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Arsitektur Kedaton Kutai Kartanegara merupakan perpaduan gaya modern dan gaya istana Kerajaan Kutai Kartanegara.[1] Ruangan istana tampak megah dan mewah dengan tatanan Singgasana Sultan di kelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas.[1] Di sebelah kiri Singgasana terdapat Gamelan Jawa.[1] Di dalam Kedaton juga terdapat banyak ukiran yang berciri khas adat Kutai, Dayak dan Jawa untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara memiliki hubungan sejarah yang erat dengan suku Dayak dan kesultanan di Jawa.[1]
Catatan mengenai kedaton pada masa Aji Sultan Muhammad Sulaiman diperoleh dari Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan perjalanannya ke pedalaman sungai Mahakam. Dalam catatannya, Carl Bock menyebutkan mengenai pendapa dari kedaton Aji Sultan Muhammad Sulaiman yang terbuat dari bahan kayu ulin. Meskipun Kesultanan Kutai sempat berakhir pada tahun 1960-an, yaitu pada masa awal order baru. Namun dengan seiring runtuhnya orde baru pada tahun 1998, beberapa Kesultanan yang merupakan bagian dari Kesultanan Nusantara mulai bangun kembali. Pada tahun 2001 dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kesultanan Kutai Kartanegara mulai dihidupkan kembali. Ini ditandai dengan pengangkatan putera mahkota, yaitu Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara yang baru. Sultan yang baru diangkat ini diberikan gelar berupa H. Adji Mohamad Salehoeddin II. Setelah penerus tahta Kesultanan Kutai Kartanegara ditunjuk kembali pada tahun 2001, pemerintah lokal Kabupaten Kutai Kartanegara lebih lanjut lagi membangun kedaton baru di Tenggarong pada tahun 2002 yang bisa digunakan bagi Sultan untuk melakukan kegiatannya. Kedaton ini dibangun bersebelahan dengan kompleks Masjid Jamiâ Aji Amir Hasanoeddin, yaitu masjid yang dibangun pada masa Aji Sultan Muhammad Sulaiman. Desain arsitektur dari Kedaton Kutai Kartanegara yang baru dibangun pada tahun 2002 mengikuti bangunan kedaton pada masa Aji Sultan Muhammad Sulaiman berdasarkan catatan dari Carl Bock. Beberapa pengaruh arsitektur modern juga bisa terlihat dari bangunan Kedaton Kutai Kartanegara. Bangunan kedaton sebagian besar menggunakan beton yang terdiri dari dua lantai dengan atap kayu. Ada dua bagian atap yang dimiliki oleh kedaton dengan atap utama yang terdiri dari tiga tingkat. Tepat dibawah atap ini terdapat 5 pintu utama yang terbuat dari kayu sehingga total ada 10 pintu yang tersebar di dua lantai yang berbeda. Setiap pintu ini mempunyai daun pintu berjumlah masing-masing 2 unit. Pada bagian dalam Kedaton Kutai Kartanegara terdapat singgasana sultan pada bagian tengah bangunan. Lantai singgasana ini ditinggikan sedikit dengan tiga anak tangga dari lantai utama yang semuanya ditutup dengan marmer. Singgasana ini diapit oleh dua buah patung yang merupakan simbol dari Kesultanan Kutai...
   Read moreāļāļīāļāļīāļāļ āļąāļāļāđāļāļēāļ§āđāļāđāļēāļāļđāđāļ/āļāļđāđāļ āļāļķāđāļāļāļąāđāļāļāļĒāļđāđāļāļĩāļāļāļąāđāļāļŦāļāļķāđāļāļāļāļāđāļĄāđāļāđāļģāļĄāļŦāļēāļāđāļģāļāļĢāļāļāđāļēāļĄāđāļĄāļ·āļāļāļāļąāļāļāļļāļāļąāļ āđāļāļĒāđāļāđāļ§āļąāļ (āļāļĢāļēāļāļ) āđāļāļīāļĄāļāļāļāļŠāļļāļĨāļāđāļēāļāļāļēāļ§āļ āļđāđāļāļāļĩāđāđāļāļĒāļāļāļāļĢāļāļāļāļīāļāđāļāļāđāļāļāļāļĩāđāđāļāđāļāļāļĩāđāļāļģāļāļēāļĢāļāļīāļāļīāļāļ āļąāļāļāđ āđāļāđāļāļāļēāļāļēāļĢāđāļāļāļĒāļļāđāļĢāļāļāļāļēāļāļĒāđāļāļĄāļŠāļąāļāļŠāđāļ§āļāļŠāļ§āļĒāļāļēāļĄāļāļēāļĄāļŠāļĄāļāļ§āļĢ āđāļāđāļāļāļēāļāļēāļĢāļŠāļāļāļāļąāđāļāđāļāđāļāđāļāđāļāļāđāļāļāļāļĢāļ°āđāļĢāļāļĄāļĩāļĨāļēāļāļāļ§āđāļēāļāļāļąāđāļāļĢāļ°āļŦāļ§āđāļēāļāļāđāļāļāļāļĢāļ°āđāļĢāļāļāļąāļāļāđāļēāļĒāđāļāļāļķāđāļāļĄāļĩāļŦāđāļāļāļŦāļąāļāļāļąāļāļŠāļīāļāļŦāđāļāļāđāļāđāđāļāđāļāļāļĩāđāļāļąāļāđāļŠāļāļāļŠāļīāđāļāļĨāļ°āļāļąāļāļāļĢāļĢāļāļĨāļ°āļāđāļāļĒāđāļĨāđāļēāđāļĢāļ·āđāļāļāļāļ§āļēāļĄāđāļāđāļāļĄāļēāļāļąāđāļāđāļāđāļāļĢāļĢāļāļāļēāļĨāļāļĨāļāļāļāļāļāļĢāļąāļāļĒāđāđāļāļāļīāļāļŠāļīāļāđāļāļāđāļģāļāļāļāļāļĩāđāļāļĩāđ āđāļāđāļāđāļēāđāļāļēāļ°āļāļāļĨāļāđāļāļāļķāļāđāļāļĢāļ·āđāļāļāļĄāļŦāļĢāļĢāļāļ āļąāļāļāđāļāļāļāđāļāđāļēāđāļĄāļ·āļāļāļŠāđāļ§āļāđāļŦāļāđāļāđāļŠāļđāļāļŦāļēāļĒāđāļāļāļąāļāļāļēāļĢāđāļāļĨāļĩāđāļĒāļāđāļāļĨāļāļāļēāļāļāļēāļĢāđāļĄāļ·āļāļ āļĄāļĩāđāļĢāļ·āđāļāļāđāļĨāđāļēāļ§āđāļēāļāļāļāļāļĢāļīāļāļāļąāđāļāđāļāļīāļĄāļāļđāļāđāļāđāļēāļāļēāļāļēāļāļīāļāļĄ/āļāļąāļāļāđāļāļĨāđāļāļŠāļ°āļāļĄāđāļ āļāļĩāđāļāļąāļāđāļŠāļāļāļāļĒāļđāđāļāđāđāļāđāļāļāļāļāļāļģāļĨāļāļāļāļķāđāļāđāļāđāļāđāļĒāļąāļāđāļŦāļĨāļ·āļāđāļāļĢāļ·āđāļāļāļĢāļēāļāļđāļāđāļ āļāļāļĩāđāđāļāđāļāđāļāļĢāļ·āđāļāļāđāļāļīāļāļāļĩāđāļāļāļāļąāļāļāļģāļāļ§āļāđāļāđāļāļĩāļāļāļīāļāļŦāļāđāļāļĒāļāļąāļāđāļŠāļāļāđāļŦāđāđāļŦāđāļāļāļķāļāļāļ§āļēāļĄāļĢāļļāđāļāđāļĢāļ·āļāļāđāļāļāļāļĩāļ āļŠāđāļ§āļāļāļ āļīāļĢāļļāļĄāļāļļāļĄāļŠāļēāļĒāđāļĨāļ°āļāļąāļāļĢāļāļĩāđāđāļāđāļāļāļāļāđāļĄāđāļĄāļĩāļāđāļēāđāļŦāļĨāļ·āļāļāļĒāļđāđāđāļŦāđāđāļŦāđāļāđāļāđāļāđāļāđāļēāđāļāļ·āđāļāļ āļāļĩāđāļāđāļēāļāļĢāļ°āļŦāļĨāļēāļāđāļāļāļ·āļāļāļēāļĢāļŠāļ·āļāļāđāļāļāđāļāļ§āļāļĻāđ "āļāļŠāļąāļāđāļāļŦāļ§āļē" āļāļķāđāļāđāļāđāļāđāļāļ§āđāļēāđāļāđāļāļĢāđāļāļĒāļāļĩ āđāļĢāļīāđāļĄāļāļĩāđāļāļĢāļīāļŠāļāđāļĻāļāļ§āļĢāļĢāļĐāļāļĩāđ 13/14 āđāļĄāļ·āđāļāļĒāļąāļāļāļąāļāļāļ·āļāļĻāļēāļŠāļāļēāļŪāļīāļāļāļđāļāļ·āļāļāļĢāļ°āđāļāđāļēāļ āļąāļāļĢāļāļēāļāļāđāļāļ§āļĻāļąāļāļāļī ( Batara Agong Dewa Sakti ) āđāļĄāļ·āđāļāļāļĩ āļ.āļĻ.1300 āļāļāļāļķāļāļāļĢāļ°āđāļāđāļē āļāļąāļāļāļĢāļąāļāļāļāļąāļĄāļāļąāļāļāļĄāļąāļāđāļāļ ( Pangeran Anum Panja Mendapa ) āļāļĩāđāļāļĢāļāļāļĢāļēāļāļĒāđāļāđāļ§āļ āļ.āļĻ. 1700-1735 āļāļķāļāđāļāļĨāļĩāđāļĒāļāļĄāļēāļāļąāļāļāļ·āļāļāļīāļŠāļĨāļēāļĄāļŠāļĄāļąāļĒ āļŠāļļāļĨāļāđāļēāļāļĄāļđāļŪāļąāļĄāļŦāļĄāļąāļāļāļīāļāļīāļĢāđāļŠ ( Sultan Muhammad Idris) āļāļĢāļāļāļĢāļēāļāļĒāđāļāđāļ§āļāļāļĩ āļ.āļĻ.1735-1778 āđāļĄāļ·āđāļāļāļķāļāļŠāļĄāļąāļĒāļŠāļļāļĨāļāđāļēāļāļĄāļđāļŪāļąāļĄāļŦāļĄāļąāļāļāļēāļāļļāļāļīāļ āļāļĩāđ 2 āļāļĢāļāļāļĢāļēāļāļĒāđāļāđāļ§āļ āļ.āļĻ. 2001 āļāļķāļ 2018 āļŦāļĨāļąāļāļāļēāļāļŠāļīāđāļāļāļĢāļ°āļāļāļĄāđāļāđāļĒāļāđāļĨāļīāļāļĢāļ°āļāļāļŠāļļāļĨāļāđāļēāļāđāļ āļāļąāļāļāļļāļāļąāļ āļāđāļēāļāļĄāļđāļŪāļąāļĄāļŦāļĄāļąāļāļāļēāļĢāļĩāļāļīāļ ( Muhammad Arifin) āļāļąāļāđāļāđāļāļāđāļāļŠāļāļļāļĨāđāļĨāļ°āđāļāđāļāļāļĢāļ°āļāļēāļāđāļāļāļīāļāļĩāļāļĩāđāļāļ·āļāļāļāļīāļāļąāļāļīāļāļēāļĄāļāļĢāļ°āđāļāļāļĩāđāļāļīāļĄ āļŠāđāļ§āļāļ§āļąāļ/āļāļĢāļēāļāļ...
   Read moreOne of historical place in Tenggarong. So many stories that we can learn when visit this place. Not only part of kutai kertanegara kingdom but also museum off many things available in here....
   Read more