Kehadiran Masjid Jami Hatangka ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah penyebaran Islam di daerah Gowa yang sebelum datangnya agama Islam sudah menjadi kerajaan besar.
Kapan Kerajaan Gowa berdiri, sampai saat ini belum ada tarikh yang memberikan kepastian. Gowa yang sekarang masuk dalam wilayah Sulawesi Selatan, berdasarkan peninggalan dai (tulisan di daun lontar) pernah diperintah oleh seorang raja wanita (ratu) yang dipercayai rakyat turun dari kayangan, bernama Tamanurunga yang berarti ‘yang turun dari kayangan’. Konon, sang putri turun ke suatu tempat yang disebut TakaT’asia dan dijumpai penduduk zamannya dalam sebuah gua di TakaT’asia.
Tidak jarang disebutkan dalam sejarah, sang Ratu itu dijuluki juga Tamanurunga ri Gowa ‘raja pertama di Gowa’. Ada pula yang berpendapat, julukan atau gelar itu diberikan oleh para pemimpin puak (suku) karena sang Ratu Tumanurunga ditemukan di dalam gua yang dalam bahasa Bugis disebut Gowasi.
Kapan berdirinya Kerajaan Islam Gowa? Menurut ahli sejarah dimulai dengan masuk Islamnya Raja Gowa ke-14,1 Manga’rangi Daeng Manra’bia yang setelah beragama Islam bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Orang Arab lebih mengenalnya dengan nama Sultan Alauddin. Setelah wafatnya, ia mendapat gelar Tumenanga ri Gaukanna yang artinya ‘yang wafat ketika bertakhta’. Sebagian orang berpendapat gelarnya setelah wafat adalah Sultan Alauddin Tumanenga ri Agamana.
Orang yang paling berjasa dalam upaya mengislamkan Raja Gowa ke-14 tersebut bernama Mangkubumi I Mallingkang Daeng Nyami Karaeng Katangka. Dialah orang pertama Bugis-Makasar yang pertama memeluk Islam.
Berpengaruhnya Mangkubumi I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng Matowaiya sangat dimungkinkan karena ia adalah saudara kandung ibu suri Raja I Manga’rangi Daeng Manra’bia atau Sultan Alauddin yang bernama Sambo Daeng Niasseng.
Perlu diketahui, ketika Sultan Alauddin berusia tujuh tahun ia telah dilantik menjadi raja dengan gelar I Manga’rangi Daeng Manrabia. Namun, karena usianya masih sangat muda maka roda pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Karaeng Matowiya sebagai Perdana Menteri Kerajaan Gowa. Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri inilah, Mangkubumi berhasil mengislamkan Raja I Manga’rangi.
Dan, berdirinya Masjid Gowa yang dibangun pada tahun 1603 M- -sebagianberpendapat tahun 1605 M–tidak dapat dilepaskan dari upaya islamisasi yang dilakukan Mangkubumi I Mallingkang di lingkungan istana Kerajaan Gowa.
Tentang siapa yang membangun Masjid Hatangka ini, timbul polemik yang kontroversial. Ada yang beranggapan dibangun Mangkubumi I Mallingkang selaku Perdana Menteri Kerajaan, namun adapula yang berpendapat dibangun oleh Sultan Alauddin, Raja Gowa yang pertama masuk Islam. Mana yang benar? Wallahu a’lam.
Namun, sebagai bahan pertimbangan, harus dikemukakan bahwa pada waktu itu usia Sultan Alauddin baru tujuh tahun ketika diangkat menjadi raja menggantikan saudaranya yang bernama I Tepu Karaeng Daeng Parabbung, Raja Gowa ke-13 yang dipaksa turun takhta pada usia 15 tahun karena tingkah lakunya yang menggelisahkan rakyat.
Memiliki Perpustakaan
Sebagai sebuah pemerintahan, Kerajaan Gowa terbilang maju. Ini terbukti dengan adanya perpustakan kerajaan yang memuat buku-buku tentang masalah pelayaran dan kelautan yang dihimpun oleh Raja Maluku bernama Sultan Mahmudsyah. Peraturan kelautan itu dihimpunnya dari penuturan-penuturan pelaut Makasar yang berlayar sampai ke Sumbawa, Aceh, Peureulak, Singapura, Johor, dan Malaka.
Dalam perpustakaan itu pula terdapat sebuah buku hikayat Karaeng Samarluka, seorang pelaut yang gagah berani. Dikisahkan, pada tahun 1420, Karaeng Samarluka bersama 200 kapal menyerang Malaka. Karena mengalami kekalahan, sebagian prajurit Angkatan Laut Kerajaan Gowa akhirnya ia melarikan diri ke Pasai.
Dalam pengembaraannya di Pulau Andalas (nama lain Pulau Sumatra), Karaeng Samarluka bertemu dengan seorang penyebar Islam yang bernama Abdul Ma’mur Khatib Tunggal bergelar Dato’ri Bandang, berasal dari...
Read moreDi bilangan Jalan Syekh Yusuf, Kabupaten Gowa, terdapat masjid tertua di Sulawesi Selatan (Sulsel). Namanya Masjid Hilal Katangka yang juga sering disebut Masjid Tua Katangka. Masjid ini dibangun pada tahun 1603 oleh Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14 yang pertama memeluk agama Islam. Alauddin juga merupakan kakek Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin. Salah satu pengurus Masjid Hilal, Harun Rahman Daeng Ngella mengatakan bahwa 80 persen bangunan masjid masih asli dan sama seperti waktu pertama didirikan. Beberapa bagian interior masjid juga tetap dipertahankan, seperti mihrab, mimbar, lubang angin, dan jendela masjid. Demikian juga tembok masjid yang memiliki tebal 120 centimeter dan tiang besi padat yang menopang atap masjid. “Kita harus mempertahankan bentuk keasliannya, karena bangunan ini dilindungi Undang-Undang Kepurbakalaan. Ini adalah saksi sejarah awal mula Islam menyebar di Sulawesi Selatan,” kata pria 41 tahun itu. Di masa kejayaan Kerajaan Gowa di awal abad XVII, kata Harun, Sultan Alauddin menjadikan Masjid Tua Katangka sebagai pusat penyebaran agama Islam bagi masyarakat yang dinaungi kerajaan kembar, yakni Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Jadi, peran masjid tidak hanya ini bukan hanya sebagai tempat menunaikan salat semata. Di sekeliling masjid terdapat makam para raja Gowa. Tidak jauh dari masjid itu juga terdapat makam Sultan Hasanuddin, tepatnya di kampung Palantikang serta makam tokoh penyebar Islam Syekh Yusuf Al Makassari. Sebelum Syekh Yusuf berkelana ke Banten dan Aceh, yang kemudian dibuang Belanda ke Sri Lanka dan Afrika Selatan, Syekh Yusuf dibesarkan oleh Sultan Alauddin di sekitar lingkungan Masjid Tua Katangka. Selain itu, tiga ulama dari Minangkabau yang dicatat sejarah sebagai penyebar agama Islam pertama di Sulsel: Datuk ri Tiro, Datuk Ribandang, dan Datuk Patimang berdakwah di Masjid Tua Katangka ini. “Dahulu kawasan sekitar ini adalah benteng terluas yang dimiliki Makassar sebelum pusat kerajaan dipindahkan ke Benteng Somba Opu. Di dalam kawasan benteng ini terdapat 46 kampung yang dihuni kaum bangsawan Gowa bersama rakyatnya,” tutur Harun. Titik kejatuhan Kerajaan Gowa terjadi saat Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian dengan Jenderal Cornelis Speelman dari pihak Belanda pada tanggal 18 November 1667. Meski disebut Perjanjian Perdamaian Bongaya, sebetulnya itu merupakan "deklarasi" kekalahan Kerajaan Gowa terhadap VOC. Setelah perjanjian tersebut, sejumlah benteng yang dimiliki Kerajaan Gowa di wilayah pesisir Makassar ikut dihancurkan--ini sekaligus menjadi momentum kejatuhan armada laut Kerajaan Gowa yang menguasai jalur laut perdagangan rempah-rempah dari Maluku hingga ke Temasek (Singapura) dan Johor, Malaysia. “Keturunan Raja Gowa dan pasukannya berlindung di lingkungan Masjid Tua setelah istana dan bentengnya dihancurkan Belanda. Masjid ini tidak disentuh oleh penjajah Belanda,” ungkap Harun. Harun menjelaskan ada beberapa simbol dan lambang Islam yang terdapat dalam bangunan masjid, seperti enam jendela yang diartikan enam Rukun Iman dan lima pintu masjid yang diartikan lima Rukun Islam. Harun yang merupakan turunan dari leluhurnya yang ikut menjadi pengurus Masjid Tua tersebut menyebutkan bahwa nama Masjid Hilal Katangka diambil dari nama pohon Katangka. Pohon tersebut dulu tumbuh di sekitar masjid. Kemudian, kayunya dijadikan bahan untuk membangun struktur bangunan--sebelum masjid direnovasi menjadi bangunan yang memiliki dinding tembok. Uniknya, pengaruh gaya arsitektur Tiongkok juga dapat ditemukan pada bangunan masjid ini. Mimbar masjid memiliki atap dengan ukiran khas Tiongkok, seperti yang bisa dijumpai di dalam bangunan Kelenteng. Sementara di bagian jendela-jendela masjid, terdapat ukiran aksara Arab yang ditulis dengan bahasa...
Read moreIt is reputed to be the oldest mosque in South Sulawesi. Sadly, the old structure has undergone massive exterior renovation works that don't reflect the architectural design of its age. However, there are many tombs within the mosque complex that are definitely from a bygone era. Massive tombs of past kings and nobles rise taller than ordinary people. Inside, past the old wooden doors, you will immediately sense a drop in temperature. Cooler and more comfortable inside, you wouldn't want to rush your prayers. There are massive columns in each corner that swell in the middle sections. The old pulpit or 'minbar' where the Imam delivers his sermons is made of concrete with some carved wooden decorative elements on the archway with Quranic verses. There are green glazed ceramic blocks on the sides. The 'mihrab' is a simple, small, deep niche in the wall. It isn't as decorative as recent ones. Other than the pulpit, there are relatively few decorations...
Read more