Tengah-tengah perjuangan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara (M.N.) VI telah berhasil membawa Praja Mangkunegaran bangkit kembali dari himpitan ekonomi, Sang Adipati berfikir untuk mengundurkan diri. Langkah ini adalah janggal di kalangan trah Mataram Islam. Hampir nihil dalam catatan sejarah. Amat kompleks alasan yang melatarbelakangi niat M.N. VI ini.
Hingga akhirnya ia betul-betul mengajukan pengunduran diri pada 1912. Surat itu dibalas pada 1914, dan resmi sudah tidak lagi menjabat pada 11 Januari 1916. Tiga hari setelahnya yaitu 14 Januari, beliau pindah ke Surabaya lewat Stasiun Balapan. Sempat dihadang oleh utusan residen karena disangka membawa lari harta Mangkunegaran, tapi itu tidak terbukti. Malah, beliau menyumbangkan harta pribadinya di bank senilai 10 ribu gulden diserahkan untuk kas Praja Mangkunagaran. Beliau diantar secara tidak resmi oleh prajurit legiun Mangkunegaran untuk memberikan penghormatan sebelum hijrah.
Beliau kemudian menetap di Surabaya, tepatnya di Palmenlaan straat atau sekarang menjadi Jalan Panglima Sudirman No. 35. Beliau memulai usaha di sana. Berdagang dengan mendirikan badan usaha bernama 'Soejono Soewasti'. Betul-betul hidup mandiri, meskipun beliau berhak menerima uang pensiun sebesar 6 ribu gulden per bulan.
Tahun 1912 mungkin menjadi tahun yang berat bagi KGPAA. M.N. VI (kemudian dibaca KPA. Dayaningrat), sebab beberapa pihak baik dalam istana maupun luar istana dalam hal ini pemerintah kolonial menjagokan kandidat lain di luar kandidat yang dicalonkan oleh beliau. Peristiwa ini pula menjadi titik awal perubahan sikap terhadap orang-orang di sekelilingnya, di samping pula mulai menderita sakit yaitu di sekitar perut.
Tahun 1927 tepat KPA. Dayaningrat menginjak umur kepala 7, beliau sering sakit dan keluhan di bagian perut. 13 Juni 1928 beliau dibawa ke Darmo Zuikenhuis (sekarang jadi R.S. Darmo) untuk tindakan operasi. Operasi berjalan lancar, KPA. Dayaningrat diperkenankan pulang.
Sebuah suratan takdir mengatakan bahwa pada 25 Juni 1928 Sang Pemimpin wafat pada 01.15 dini hari. Beliau wafat di usia 71 tahun. Berita wafat beliau ditulis dalam surat kabar Haagsche Courant di kolom Vorstenlanden.
Sebelum wafat, beliau menghendaki apabila meninggal untuk dimakamkan di Astana Bata Putih Surabaya. Namun di hari beliau wafat, keluarga Mangkunegaran bersikeras agar KPA. Dayaningrat dimakamkan di Surakarta. Akhirnya beliau dimakamkan di Surakarta, dibawa dengan kereta melalui stasiun Gubeng Surabaya pukul 10.00 di hari yang sama. Sebuah cerita menceritakan bahwa di setiap stasiun pemberhentian, beliau selalu disambut oleh petinggi setempat untuk menyampaikan hormat terakhir, hingga tiba di Sragen beliau disambut oleh Bupati...
Read moreSebuah tempat sejarah. Makam dari Mangkunegara VI. Tempatnya tenang, asri, masih banyak pohon pohon besar. Merupakan situs cagar budaya. Meskipun demikian, tempat ini dikelola dan dirawat oleh keturunan Mangkunegara VI. Bila kalian berkunjung, bisa menemui salah satu keturunan beliau di Pendopo sebelah kanan dari gerbang masuk. Bila mencari keheningan dalam ibadah, kalian bisa sholat di masjidnya. Menarik bagi saya, di depan masjid terdapat pohon asoka oranye yang batangnya cukup besar, jarang sekali ditemuka asoka dengan batang sebesar itu kecuali umurnya sudah tua. Oh iya, masuk tempat ini belum ditarik retribusi, bisa mengisi dana seiklasnya untuk mendukung pemeliharaan situs cagar budaya. Berbeda dengan makam raja raja, masuk ke makam ini kita tidak diwajibkan menggunakan...
Read moreMakam dari pembaharu Pura Mangkunagaran. Walaupun agak tidak disukai oleh kerabat-kerabat Mangkunagaran pada masa kepemimpinannya karena kebijakannya yang melakukan penghematan. Walaupun begitu, tokoh ini cukup berjasa menyelamatkan keuangan Pura yang awut-awutan. Lokasinya ada di bagian utara kota Sala. Berbeda dengan adipati lainnya yang dimakamkan di Astana Girilayu dan Mangadeg, MN VI dan keturunannya dimakamkan di sini. Tempatnya...
Read more