Situs Warungboto Yogyakarta (Pesanggrahan Rejawinangun)
Keberadaan pesanggrahan-pesanggrahan yang ada di Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya Kraton Yogyakarta. Adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 M, wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta diperintah oleh Sunan Paku Buwana III dan Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Sultan Hamengkubuwana I kemudian membangun kraton dengan berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung keberlangsungan eksistensi kerajaan, di antaranya dengan membangun, pesanggrahan (taman), benteng keliling di dalam (cepuri) maupun di luar kedaton (baluwarti), jagang dan beberapa pemukiman abdi dalem.
Pesanggrahan yang ada di Yogyakarta dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwana I antara lain: Pesanggrahan Ambarketawang, Pesanggrahan Tamansari, dan Pesanggrahan Krapyak (tempat berburu).
Pesanggrahan atau tempat pesiar merupakan tempat peristirahatan bagi raja beserta kerabatnya. Fungsi utamanya berkaitan dengan ketenangan dan kenyamanan untuk tempat peristirahatan, maka pada umumnya pesanggrahan dilengkapi dengan taman, segaran, kolam, kebun, dan fasilitas untuk kepentingan religius.
Sultan Hamengku Buwana II dikenal sangat menyukai dan membangun banyak pesanggrahan sejak menjadi Putra Mahkota sampai masa pemerintahannya, oleh karena itu juga dikenal sebagai “Raja pembangunan pesanggrahan”. Selama periode sebagai Putra Mahkota (1765 M – 1792 M) sudah mulai membangun beberapa pesanggrahan, yaitu Pesanggrahan Rejawinangun, Purwareja, Pelem Sewu, dan Reja Kusuma.
Berdasarkan sumber di antaranya Tidjschriff voor Nederlandsch Indie tulisan J.F. Walrofen van Nes tahun 1884, Babad Momana serta Serat Rerenggan dijelaskan bahwa Pesanggrahan Rejawinangun mulai dibangun pada tahun 1711 Jw (1785 M) yang merupakan karya putra mahkota yaitu KGPAA Hamengkunegara, kelak pada tahun 1792 naik tahta bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana II. Di dalam babad Momana disebut angka tahun pembuatan pesanggrahan, 1711 tahun Dal, Kanjeng Gusti awit yasa ing Rejawinangun…. Di dalam Pesanggrahan Rejawinangun terdapat sumber air yang kemudian dibuat menjadi tempat peristirahatan sekaligus tempat pemandian bagi raja dan keluarganya. Sebagai tempat peristirahatan, pesanggrahan ini juga pernah dikunjungi dan “diinspeksi” seorang pejabat Belanda yaitu Jan Greeve pada 5 s.d. 15 Agustus 1788 M. Inspeksi dan kunjungan terhadap sarana dan prasarana yang dapat difungsikan sebagai pertahanan tersebut dilakukan bersamaan dengan benteng baluwarti kraton.
Letak Pesanggrahan Rejawinangun sekarang, secara administratif berada di perbatasan antara Kelurahan Rejawinangun, Kecamatan Kotagede dan Kelurahan Warungboto, Kecamatan Umbulharja, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara astronomis, Pesanggrahan Rejawinangun berada pada koordinat 70 48’2” LS dan 1100 23’ 4” BT. (Sri Suharini)
Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi...
Read moreOne of unique historical heritage in Yogyakarta. It's told that situs warung boto had a relationship with Taman Sari. By observing the architecture, we could see there is a pond in the middle of building, showing the function of this place maybe was similar with Taman Sari, a park of water castle for resting and meditation. Unfortunately, it's not maintenanced and preserved well. I'm sure what I saw is just only small part remaining. No tickets to go inside, and no tour guide who would tell us about the history. But this heritage successfully made me imagining how beautiful it was in many many years ago when old royal family was there spending their time for resting and...
Read moreThere is no burden on the entrance ticket of many rupiahs to peek inside. enough with just a few thousand rupiahs for parking fees, and even then if you use a private vehicle. But the ruins of the pesanggrahan which was built by one of the rulers of the Yogyakarta Sultanate seemed empty of visitors. It feels like the angkringan peddlers in front of him also have no desire to go down, let alone introduce him.
Too quiet as if the place was filled with a mystical aura that made them reluctant to enter. His fate really contradicts Taman Sari in the Yogyakarta Sultanate Palace complex, although both of them once functioned as the...
Read more