Masjid Agung Palembang juga dikenal sebagai Masjid Sultan Mahmud Badaruddin. Ini merupakan masjid utama dari Palembang , ibukota Sumatera Selatan .Masjid ini adalah yang terbesar di Sumatera Selatan, dan masjid terbesar ketiga di Sumatera.
Masjid asli Palembang ini adalah sebuah masjid kerajaan yang terletak di dalam kompleks kraton Kuto Gawang dan dibangun oleh Sultan Ki Gede Ing Suro. Setelah penghancuran masjid ini pada tahun 1659 oleh Laksamana Johan van der Laen dari VOC, Kesultanan Palembang, di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama, memutuskan untuk membangun sebuah masjid baru. Konstruksi dimulai pada Hijriyah 1 Jumadil Akhir ah 1151 (1738 m ) di samping Kraton Tengkuruk, yang juga dikenal sebagai Kuto Kecik .
Pembangunan masjid memakan waktu 10 tahun karena gangguan akibat ketegangan dengan Belanda. Masjid tersebut hanya selesai pada tanggal 28 Jumadil Awwal ah 1161 (1748 m ). Masjid baru ini, yang diberi nama Masjid Sultan, dibangun dengan arsitektur masjid Jawa yang khas , yang memiliki atap bertingkat yang didukung oleh empat tiang utama dan diatapi sebuah mustaka (hiasan atap atas). Atapnya juga memiliki kelengkungan menyapu yang naik di sudut-sudut atap yang mungkin dipengaruhi oleh arsitektur China, meski sekarang sudah biasa diterima secara langsung dipengaruhi oleh atap limas vernakular. Pada saat selesai, Masjid Sultan diyakini merupakan yang terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Memiliki kapasitas untuk menampung 1.200 jamaah.
Pembangunan menara pertama kali dimulai pada tahun 1748 dan selesai pada tahun 1812, juga mengalami penundaan karena konflik lain dengan Belanda. Menara ini adalah menara bata putih setinggi 20 meter, dengan tata letak heksagonal, dan diatapi dengan atap genteng tanah liat yang menyerupai atap pagoda Cina. Pada tahun yang sama, perpanjangan 12 x 18 meter persegi ditambahkan ke masjid untuk memperluas kapasitasnya menjadi 2.300 jamaah.
Konflik lebih lanjut dengan Belanda menyebabkan perusakan menara, namun pada tahun 1823, setelah penghapusan masa kesultanan, masjid tersebut direnovasi oleh Belanda dalam upaya konsiliasi, dengan atap genteng tanah liat yang hancur yang diganti dengan atap sirap pada tahun 1825.
Pada tahun 1848, Masjid Sultan diperluas oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pintu masuk utama bergaya tradisional digantikan oleh serambi neoklasik dengan kolom bergaya Doric. Ekspansi lebih lanjut terjadi pada tahun 1879, dengan penambahan teras yang didukung oleh kolom beton berbentuk silinder.
Pada tahun 1897, beberapa tanah di sekitar masjid diperoleh untuk memperluas kompleks masjid. Saat ini, masjid tersebut menerima nama saat ini, Masjid Agung atau "Masjid Agung" Palembang.
Pada tahun 1916, bangunan menara direstorasi; Pada tahun 1930, kolom tiang masjid diangkat, menambahkan tinggi bangunan menjadi 4 meter.
Antara tahun 1966 dan 1969, Masjid Agung Palembang mendapat tambahan besar dengan penambahan lantai dua, memperluas area masjid menjadi 5.520 meter persegi yang memungkinkan masjid tersebut untuk menampung 7.750 orang. Lalu sebuah menara tinggi khas Ottoman setinggi 45 meter ditambahkan ke masjid pada tanggal 22 Januari 1970; Pembangunannya disponsori oleh Pertamina .
Masjid tersebut juga menerima kubah bergaya Timur Tengah. Bentuk atap aslinya tidak dibongkar, namun profil keseluruhan masjid berubah drastis.
Renovasi besar terakhir masjid terjadi pada tahun 2000 ketika khas arsitektur asli masjid dipulihkan. Masjid ini selesai pada tanggal 16 Juni 2003 dan diresmikan secara resmi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.Masjid ini sekarang mampu menampung 9.000 orang, dan selama sholat Jum'at, ketika lapangan di kompleks masjid digunakan, jemaat di dalam kompleks masjid dapat mencapai...
Read moreSejarah Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin
Saat terjadi perang antara masyarakat Palembang dengan Belanda pada tahun 1659 M, sebuah masjid terbakar. Masjid tersebut merupakan masjid yang dibangun oleh Sultan Palembang kala itu, Ki Gede Ing Suro, yang berlokasi di Keraton Kuto Gawang. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1738 M,. Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo membangun kembali masjid tepat di lokasi berdirinya masjid yang terbakar.
Pembangunan masjid yang baru memakan waktu cukup lama, hingga pada 26 Mei 1748 atau pada 28 Jumadil Awal 1151 tahun Hijriah,
masjid tersebut baru diresmikan berdiri. Di awal pembangunannya, Masjid Agung Palembang disebut oleh masyarakat Palembang dengan nama Masjid Sulton. Nama tersebut merujuk pada pembangunan masjid yang diketuai dan dikelola secara langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
Ketika pertama kali dibangun,masjid ini meliputi lahan seluas 1.080 meter persegi (sekitar 0,26 hektar) dengan kapasitas 1.200 orang. Lahan kemudian diperluas oleh Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta Mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Awalnya masjid ini belum memiliki menara.. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar yang mengelilingi bangunan menara.
Masjid Agung Palembang sebagai salah satu masjid tertua yang ada di nusantara sudah mengalami berbagai renovasi.
Dari 1819-1821, renovasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah itu, ekspansi lebih lanjut dilakukan pada tahun 1893, 1916, 1950, 1970, dan terakhir pada tahun 1990-an. Selama ekspansi pada 1966-1969 oleh Yayasan Masjid Agung, lantai kedua dibangun dengan luas tanah 5.520 meter persegi dengan kapasitas 7.750 orang.
Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina. Menara baru ini setinggi 45 meter, mendampingi menara asli bergaya Cina, diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.
Masjid ini sangat khas dengan tradisi Melayu Palembangnya. Sebagian besar kayu yang terdapat di arsitektur masjid memiliki ukiran khas Melayu Palembang yang disebut Lekeur.
Salah satu renovasi terbesar terjadi pada tahun 1999. Renovasi yang dilakukan oleh Gubernur Laksamana Muda H Rosihan Arsyad tidak hanya memperbaiki bagian yang rusak, tetapi juga merestorasi bangunan masjid dengan menambahkan tiga bangunan baru. Ketiga bangunan tersebut antara lain, bangunan di bagian selatan masjid, di bagian utara, dan bagian timur. Pada renovasi dan restorasi ini, kubah masjid juga mengalami perbaikan di berbagai sisinya.
Saat ini, bangunan asli masjid ini terletak di tengah bangunan baru, diresmikan oleh Presiden kelima Indonesia, Megawati
Masjid ini dipengaruhi oleh 3 arsitektur yakni Melayu, China dan Eropa.
Gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah.
Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak.
Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor...
Read moreTerletak tepat ditengah kota, diantara jalan Sudirman dan jalan merdeka, kelurahan 19 ilir kecamatan ilir barat I, sekitar 200 meter dari pangkal jembatan Ampera. Berdiri kokoh sebagai bagian sejarah kota Palembang, sebuah masjid megah yg dulu pernah dikenal dengan nama Masjid Sulton.
Dibangun pada 1738 oleh sultan Palembang Darussalam yg bernama Jayo Wikramo atau yg lebih dikenal dengan sultan Mahmud Badaruddin I, pembangunan masjid yg berlangsung selama 10 tahun ini akhirnya selesai pd 26 Mei 1748.
Diawal berdirinya masjid ini hanya berukuran 30 x 36 meter dan belum memiliki menara. Arsitektur masjid pada awalnya adalah campuran antara budaya lokal, cina dan eropa. Atap berbentuk limas berundak 3, pd masing2 sisi atap tedapat 13 jurai (bentuk melengkung dan lancip) yg merupakan ciri khas bentuk atap2 kelenteng Cina. Sedangkan gaya eropa dapat ditemui pada jendela2 masjid yg besar dan pilar2 batunya yg kokoh.
Pada masa pemerintahan sultan Ahmad Najamuddin (1758 - 1774), menara masjid dibangun, lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama. Pola menara dibuat bentuk persegi enam setinggi 20 meter, hampir menyerupai menara pd bangunan klenteng.
Pd masa penjajahan Belanda, masjid Agung pernah menjadi pusat pertahanan rakyat Palembang melawan Belanda, dlm pertempuran sengit 5 hari berturut-turut. Pertempuran bermula pd 1-1-1947, pejuang republik awalnya menyerang markas Belanda disekitar RS. Charitas. Keesokan harinya Belanda membalas serangan dengan menggempur pusat pertahanan republik yg berada di masjid Agung.
Tentara Belanda menyerang Palembang (tahun 1947). Walau Belanda sdh mengerahkan semua kekuatan baik laut maupun udara, namun mrk belum bisa menembus garis pertahanan pejuang republik. Setelah 5 hari pertempuran yg melelahkan dan banyak memakan korban dikedua belah pihak, akhirnya pd hari kelima tentara Belanda mulai mundur teratur.
Sampai akhirnya disepakati gencatan senjata antara kedua belah pihak. Peristiwa ini merupakan kemenangan bagi rakyat Palembang dimana pasukan Belanda bersenjata lengkap gagal menaklukkan Palembang.
Masjid Agung yg menjadi kebanggaan masyarakat kota Palembang terus berbenah, dan pada tahun 1970, menara masjid yg baru, setinggi 45 meter dibangun dan berdiri kokoh berdampingan dgn bangunan utama masjid. Pd saat itu luas keseluruhan masjid sdh mencapai 5.520 meter persegi dengan daya tampung sekitar 7500 jamaah. Pada masa itu masjid Agung sdh menjadi masjid terbesar se asia tenggara.
Beberapa kali renovasi terhadap masjid pernah dilakukan, terakhir di tahun 2003 yg lalu dimana daya tampung masjid diperbesar lg mencapai 9000 jamaah.
Demikianlah sejarah masjid Agung Palembang yg berhasil saya rangkum dari beberapa...
Read more