It was initially built in 1824 on an estate owned by the 18th Dutch resident of Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert. The first building was designed by an architect named A. Payen, with typical Indies tropical architecture design. The construction of the building was delayed by the ongoing Java War, a rebellion led by Prince Diponegoro and was only completed in 1832. An earthquake shook and toppled the first palace on June 10, 1867 and the building was initially rebuilt in 1869. The status of Yogyakarta was changed from Resident to a province on 19 December 1927, thus the building changed its purpose as the governor's office. During the struggle for Independence, the capital city of Jakarta was occupied by Allied forces and the government was moved to Yogyakarta on 6 January 1946. The palace became the residence of president Sukarno between 1946 and 1949, until the government was moved back to Jakarta on 28 December 1949. After Suharto's became the 2nd president of Indonesia, the palace was made a venue for afternoon parade on every 17 August to commemorate Indonesia's independence. Later in 1991 the building is used to celebrate every moment of seconds of the declaration of the...
Read moreTerletak di pusat keramaian kota, tepatnya di ujung selatan Jalan Ahmad Yani dahulu dikenal dengan Jalan Margomulyo. dan berada pada ketinggian 120 m dari permukaan laut. Kompleks istana ini menempati lahan seluas 43.585 m².
Dibangun pada Mei 1824 oleh Anthony Hendriks Smissaerat, Residen Yogyakarta ke-18 (1823-1825) yang menghendaki adanya "istana" yang berwibawa bagi residen-residen Belanda sedangkan arsiteknya adalah A. Payen.
Karena adanya Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) pembangunan gedung itu tertunda. Pembangunan tersebut diteruskan setelah perang tersebut berakhir yang selesai pada 1832.
Pada 10 Juni 1867, kediaman resmi residen Belanda itu ambruk karena gempa bumi. Bangunan baru pun didirikan dan selesai pada 1869. Bangunan inilah yang menjadi gedung utama komplek Istana Kepresidenan Yogyakarta yang sekarang disebut juga Gedung Negara.
Pada 19 Desember 1927, status administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi provinsi di mana Gubernur menjadi penguasa tertinggi. Dengan demikian gedung utama menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta sampai masuknya Jepang.
Masa Ibukota Republik Pada 6 Januari 1946, "Kota Gudeg" ini menjadi ibu kota baru Republik Indonesia yang masih muda dan istana itu berubah menjadi Istana Kepresidenan, tempat tinggal Presiden Soekarno beserta keluarganya, sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072/Pamungkas.
Agresi Militer Belanda II Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor, Presiden, Wakil Presiden dan para pembesar lainnya diasingkan ke luar Jawa dan baru kembali ke Istana Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Sejak 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi tempat tinggal sehari-hari Presiden.
Saat ini Kantor & kediaman resmi Presiden Istana Yogyakarta atau Gedung Agung, sama halnya dengan istana Kepresidenan lainnya yaitu sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Selain itu juga sebagai tempat menerima atau menginap tamu-tamu negara.
Sejak 17 Agustus 1991, istana ini digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan penyelenggaraan Parade Senja setiap tanggal 17 yang dimulai 17 April 1988.
Kompleks bangunan Istana Yogyakarta terdiri atas enam bangunan utama yaitu Gedung Agung (gedung utama), Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu dan Wisma Saptapratala.
Gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 sampai sekarang bentuknya tidak mengalami perubahan. Ruangan utama yang disebut dengan Ruang Garuda berfungsi sebagai ruangan resmi untuk menyambut tamu negara atau tamu agung yang lain.
Selain wisma-wisma tersebut sejak 20 September 1995 komplek Seni Sono seluas 5.600 m2 yang terletak di sebelah selatan, yang semula milik Departemen Penerangan, menjadi bagian Istana Kepresidenan ini.
Monumen di Istana
Pintu masuk Gedung Agung dengan patung batunya Di depan gedung utama, di halaman istana, ada sebuah monumen batu andesit setinggi 3,5 meter yang disebut Dagoba, yang berasal dari Desa Cupuwulatu, di dekat...
Read moreI will talk about the museum in here, we called it Museum Istana Yogyakarta (Yogyakarta's Palace Museum). It is in a palace of president in Yogyakarta. I had this experience while I participate with one of goverment activities, visit 3 museums a day and its free. I love this activities because its good for education. This museum are not available for public (idk well). Inside the museum, a lot of president's things. I mean history of every Indonesia's president, their story, their family, their photos. A lot of things you could find inside! But i dont have any photos because we can not take any photos inside. I think its good for education if goverment open this...
Read more