The pilgrims believe that Sunan Bungkul is a guardian, but the story of the Sunan Bungkul is too minimal to be traced. However, his tomb that is located in the complex of Taman Bungkul saves uneasily revealed historical mystery. There is a saga that mentions that Mbah Bungkul, or Sunan Bungkul, was also Empu Supa, a community and religious leaders in Majapahit kingdom in the 15th century. He is the elder of Bungkul village, which was ever visited by Raden Rahmat or Sunan Ampel, around 600 years ago, when he was traveling from Trowulan Majapahit towards Kalimas in Ampel Denta.
Ki Supa later converted to Islam and changed his nickname to Ki Ageng Mahmudin. Because he lived in Bungkul village, Ki Supa was better known as Sunan Bungkul. Their relationship grew stronger as Sunan Bungkul was later becoming Raden Rahmat’s father in law. This relationship became one of the reasons why Islam was spread faster in Southern Surabaya than in other regions. Mbah Bungkul is now believed to be one of the guardians in Surabaya. Pilgrims who visit the Ampel tomb will definitely visit this tomb complex which is located in Progo Street. Mbah Bungkul’s existence can be placed equal to Sheikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Stage (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), and other local guardians around of...
Read moreSunan Bungkul atau Mbah Bungkul, tokoh yang menyebarkan agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit. Mbah Bungkul saat itu berdakwah di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Nama asli Sunan Bungkul adalah Ki Ageng Supo atau Mpu Supo, dan ia merupakan bangsawan di zaman Kerajaan Majapahit. Setelah mendapat hidayah dan memeluk Islam, Sunan Bungkul mengganti namanya menjadi Ki Ageng Mahmuddin/Syaikh Mahmuddin (1400-1481 M). Diketahui, dulunya Sunan Bungkul adalah seorang petinggi Kerajaan Majapahit, setingkat Tumenggung. Beliau diminta oleh Raja Majapahit, yang saat itu dipimpin Brawijaya, untuk menemani putra mahkota, yang lebih tertarik belajar agama dibanding mewarisi kerajaan, ke Sunan Bejagung di Tuban. Putra Mahkota dan Tumenggung akhirnya belajar agama ke Sunan Bejagung yang memiliki nama asli Syaikh Abdullah Asy’ari. Menurut sejarah, Syaikh Abdullah Asy'ari adalah adik dari Syaikh Maulana Ibrahim Asmoroqondhi, ayah Sunan Ampel dan kakek dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Di kemudian hari, putra mahkota Majapahit tersebut dijadikan menantu oleh Sunan Bejagung. Hingga akhir hayatnya, sang putra mahkota tidak tertarik kembali ke Majapahit. Makam putra mahkota tersebut kini ada di Desa Bejagung, Tuban, dan lebih dikenal dengan makam Sunan Bejagung Kidul. Sedangkan makam Syaikh Abdullah Asyari atau Sunan Bejagung disebut makam Sunan Bejagung Lor. Selepas kepergian Sunan Bejagung Kidul, Sunan Bungkul kembali ke Majapahit. Dalam perjalanannya, dia terus menyebarkan ajaran Islam hingga ke daerah Pati, Jawa Tengah. Menurut kisah, Sunan Bungkul usianya mencapai sekitar 300 tahun. Bahkan Sunan Bungkul mempunyai banyak murid hingga di daerah Pati, Jawa Tengah. Sesampainya di Majapahit, Sunan Bungkul hidup di daerah Bungkul. Karena itu dia lebih dikenal sebagai Susuhunan Bungkul atau Sunan Bungkul. Tidak diketahui pasti bagaimana makam Sunan Bungkul ada di Surabaya, sedangkan dulu dia hidup di Majapahit (daerah Trowulan, Mojokerto). Buku Oud Soerabaia yang ditulis GH Von Faber, ahli sejarah asal Belanda, menyebut bahwa saat zaman kolonial, Sunan Bungkul sengaja tidak mengungkap jati diri yang sebenarnya. Dalam buku yang diterbitkan pada 1931 itu, tertulis, orang akan celaka (kualat, bahasa Jawa), jika mencoba mengetahui siapa sebenarnya...
Read moreTempat ziarah makam di tengah taman kota Surabaya. Nama tempat ini adalah Makam Sunan Bungkul yang terletak di belakang taman Bungkul, jalan raya Darmo Surabaya. Makam Sunan Bungkul ini terbuka setiap hari. Dengan fasilitas masjid, toilet dan parkir kendaraan yang berada di luar tepi jalan.
Tidak sedikit peziarah yang nyekar dan berdoa di area pemakaman Mbah Bungkul yang dikenal sebagai tokoh penyebar Islam di akhir kejayaan kerajaan Majapahit. Konon katanya, disematkannya nama Bungkul karena jasadnya bungkul atau utuh. Dengan nama asli Ki Ageng Supo, yakni seorang bangsawan Majapahit yang memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Ki Ageng Mahmuddin.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah tidak hanya memerintahkan ziarah kubur, tapi juga menjelaskan manfaat-manfaat dalam melaksanakan ziarah kubur. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut: "Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah)." (HR. Hakim)
Anjuran melaksanakan ziarah kubur ini bersifat umum, baik menziarahi kuburan orang-orang salih ataupun menziarahi kuburan orang Islam secara umum. Hal ini seperti ditegaskan oleh Imam al-Ghazali sebagaimana berikut: "Ziarah kubur disunahkan secara umum dengan tujuan untuk mengingat (kematian) dan mengambil pelajaran, dan menziarahi kuburan orang-orang salih disunahkan dengan tujuan untuk tabarruk (mendapatkan barakah) serta pelajaran. (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Dien, juz 4, hal: 521)
Bahkan legalitas melaksanakan ziarah kubur ini telah disepakati oleh seluruh mazhab umat Islam. Hal ini seperti disampaikan dalam kitab Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah sebagaimana berikut: "Ziarah kubur diperbolehkan oleh seluruh mazhab umat Islam. (KH Ali Maksum Krapyak, Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah, hal: 53)
Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ziarah kubur merupakan salah satu ajaran agama Islam yang secara tegas dianjurkan oleh syariat. Dan sebaiknya seseorang pada saat melaksanakan ziarah kubur agar senantiasa menjaga adab agar yang dilakukan mendapatkan pahala dan kemanfaatan serta dilakukan dengan cara yang benar....
Read more