In this place there are various relics of the war era of independence of the Republic of Indonesia. This place is also one of the spooky places in Night Town. There is one train carriage called the "Death Car" (indonesia: Gerbong Maut). This story occurred on November 23, 1947. At that time, although Indonesia was independent, the Netherlands still has not left the archipelago. Prior to the incident, the Dutch made extensive arrests against the Army of the Republic of Indonesia (Tentara Rakyat Indonesia), paramilitary, underground movement, and people regardless of their role or not in the struggle.
This resulted in a full Bondowoso Prison and could no longer accommodate the prisoners. The Netherlands also moved about 100 prisoners who were deemed to have serious offenses, from Bondowoso city prison to Surabaya town prison.
The transfer of prisoners is done by train. The first carriages of the GR5769 with 28 people and the second carriage of GR4416 with 34 still have air vents even though they are very small, but the third carriage GR10152 with 38 people is not at all - albeit freshly made.
The Dutch are closing tightly on train cars. This is because the raging guerrillas of Indonesia, if there are people who caught bringing the fighters of RI, will be directly killed.
During the trip to Bondowoso from Surabaya which took a dozen hours, the three train cars only opened occasionally. That too briefly.
The prisoners were also given no food and drink during the trip. Therefore, the prisoners suffocated one by one.
Arriving in Bondowoso, as many as 46 fighters died from suffocation did not get food and drink, heat, and enough air. While the rest survived, although in a state of weakness and limp.
The surviving prisoners were forced to carry the dead. They had to be careful because it could have been the skin of the prisoner who had died, exhausted, and roasted in a railway...
Read moreWisata edukasi sejarah perjuangan bangsa yang menyajikan tidak hanya foto, tetapi benda-benda asli yang bisa dilihat kasat mata bahkan ada yang bisa disentuh / dipegang. Bagi pengunjung, keberadaan benda asli tersebut bisa menggetarkan perasaan dan membawa pikiran melambung ke masa lalu. Perasaan ini sangat bagus bagi generasi muda untuk menjiwai perihnya perjuangan kemerdekaan dan memupuk semangat patriotis. Ada gerbong maut Bondowoso, ada tank yg direbut pahlawan pelajar (Trip), perahu cadik penyelamat, mobil tua panglima, berbagai meriam dan bedil, baju seragam asli beberapa jenderal & perwira, dokumen jaman doeloe, sitaan senjata fretilin timor timur, sitaan senjata OPM, meja kursi & tempat tidur Panglima Soedirman, dll. Semua alutsista terkait Angkatan Darat. Gedung bangunan lama yg terawat dan bersih, justru menggambarkan suasana tempo doeloe. Tarif masuk cukup murah hanya Rp. 5.000 per kepala. Jam berkunjung sampai pukul 3 sore, jam buka penulis belum sempat lihat. Transportasi dan akses jalan sangat mudah karena berada di tepi jalan raya Ijen yg sangat legendaris dg pohon palem & taman sepanjang jalan.
Bagi para calon pengunjung khususnya anak² dan pelajar, sangat dianjurkan baca-baca dulu sejarah perjuangan bangsa sejak era pergerakan 1928 hingga perang kemerdekaan dan beberapa tahun setelah merdeka. Hal ini penting agar anak² setelah membaca mempunyai gambaran dan fantasi di benaknya tentang sejarah , dan kemudian membuktikannya secara fisik kasat mata. Meskipun benda² itu diam membisu namun bisa menitikkan air mata jika mengetahui sejarah kejadian di belakangnya. Tanpa mengerti itu, maka melihat benda² bersejarah ini terasa hambar, biasa² saja dan sedikit pun tidak menarik bagi generasi muda yg hanya tahu zaman modern kekinian.
Dianjurkan bawa bekal makanan minuman karena di lokasi tdk tampak stan berjualan ( mungkin memang tdk disediakan utk menjaga suasana hening dan fokus. Hanya ada bakul bakso dan sejenisnya di halaman depan.
Saran utk pengelola (Kodam V Brawijaya), alangkah baiknya Koperasi menyediakan barang merchandise khusus buat oleh-oleh / tanda kenangan, seperti kaos, topi, gantungan kunci, ball point, miniatur, dsb.
Salam...
Read moreKarena masih bau-bau hari pahlawan, hari ini kita jalan-jalannya ke Museum Brawijaya.
Wkwkwk. Nggak kok, nggak ada hubungannya. Kebetulan aja tadi pas jam 12 teng kami ke perpustakaan kota. Pulangnya mampir dulu ke museum. Sebenarnya ini bukan tujuan favorit saya sih. Dulu pernah ke sini sama pak bos juga waktu masih pacaran. Dan saya nggak begitu suka. Tapi berhubung bang imam kan orangnya suka banget sama yang bau-bau sejarah, jadi ya makmum manut wae.
Suasana di dalam masih sama, nggak banyak berubah. Ada dua ruang pameran, dan taman tempat gerbong maut berada. Bukan soal kesan horornya ya, tapi menurut saya interior museum ini suram banget. Gimana mau narik generasi jaman now untuk berkunjung kalau seperti ini? Harusnya suasananya bisa dibikin lebih bright. Entah dengan ganti keramik lantai yang jadul itu, atau lemari pajangannya yang diupgrade. Bisa dikasih musik juga maybe? Biar orang betah ada di dalam dan nggak terkungkung suasana mencekamnya. Mana di dalam ruang pameran udaranya terasa agak pengap lagi. Bau apak barang-barang lama lumayan terasa nusuk hidung.
(Masalahnya saya cuma bisa ngusul doank. Duitnyeeee dari maneeee?? Wkwkwk.)
Tapi bagusnya sekarang mereka jual pakan ikan di depan. Jadi kalau bawa anak-anak yang nggak tertarik diajak keliling lihat bedil-bedil lawas, bisa ‘diselimurkan’ dengan ngasih makan ikan di kolam depan. Eeeerrrrr ... tapi kolamnya butek sih. Hahaha. Harusnya bisa dijernihkan biar yang ngasih makan tambah seneng. selain pakan ikan, ada ice cream juga. Jadi waspadalah bagi para ortu yang anaknya ice-cream-crazy-fans seperti pimon
Dan di taman tengah yang ada gerbong mautnya itu, sekarang ketambahan setuhan feminim. Ada bermacam-macam sayuran yang ditanam di polybag. Mulai cari cabe warna hitam, kubis, terong, kangkung, dan lain-lain. Kita juga bisa naik ke atap museum dan foto-foto di atas. Saat suasana cerah seperti hari ini, gunung kawi di barat bisa terlihat jelas.
Mari-mari main ke sini. Masuknya cuma Rp 3.000 aja per orang. Pakan ikan 2 rebuan. Buka jam...
Read more