Sejarah Alun-Alun Lor Surakarta: Pusat Kehidupan Sosial dan Budaya Kota Solo
Alun-Alun Lor, atau Alun-Alun Utara, adalah salah satu elemen penting dalam tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta. Sebagai ruang terbuka yang luas, alun-alun ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan kerajaan, tetapi juga menjadi tempat interaksi antara raja dan rakyatnya, mencerminkan hubungan erat antara penguasa dan masyarakat.
Asal Usul dan Fungsi Awal
Alun-Alun Lor didirikan bersamaan dengan pembangunan Keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1745 oleh Susuhunan Pakubuwono II. Pembangunan ini merupakan bagian dari pemindahan ibu kota Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta, setelah peristiwa Geger Pecinan yang menyebabkan kerusakan besar di Kartasura. Sebagai pusat kerajaan yang baru, tata ruang keraton dirancang mengikuti konsep kosmologi Jawa, di mana alun-alun menjadi elemen sentral.
Secara tradisional, alun-alun berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat, seperti Garebeg dan Sekaten. Selain itu, alun-alun juga digunakan untuk latihan militer, pasar malam, dan berbagai kegiatan sosial lainnya. Posisinya yang berada di depan keraton menjadikannya sebagai ruang publik utama yang menghubungkan istana dengan masyarakat luas.
Elemen Penting di Sekitar Alun-Alun Lor
Di sisi barat Alun-Alun Lor berdiri Masjid Agung Surakarta, yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III pada tahun 1750. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan merupakan bagian integral dari kompleks keraton. Keberadaan masjid di dekat alun-alun mencerminkan integrasi antara kekuasaan duniawi dan spiritual dalam budaya Jawa.
Selain itu, di tengah Alun-Alun Lor terdapat dua pohon beringin kembar yang dikenal sebagai "Waringin Sengkeran". Pohon-pohon ini memiliki makna simbolis dalam budaya Jawa, melambangkan keseimbangan dan perlindungan. Keberadaan pohon beringin di alun-alun juga menciptakan suasana teduh dan sakral, menambah nilai estetika dan spiritual tempat tersebut.
Perubahan dan Pelestarian
Seiring berjalannya waktu, fungsi dan kondisi Alun-Alun Lor mengalami perubahan. Pada masa kolonial, alun-alun digunakan oleh pemerintah kolonial untuk berbagai kegiatan, termasuk upacara resmi dan pengumuman kebijakan. Setelah kemerdekaan, alun-alun tetap menjadi pusat kegiatan masyarakat, meskipun beberapa fungsi tradisionalnya mulai berkurang.
Pada tahun 2023, pemerintah kota Surakarta bekerja sama dengan Keraton Kasunanan Surakarta melakukan upaya revitalisasi Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul. Tujuannya adalah mengembalikan keaslian dan fungsi alun-alun sebagai ruang publik yang representatif, sekaligus melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya. Putera Mahkota Keraton Kasunanan Solo, KGPH Purbaya, menyambut baik upaya ini dan berharap revitalisasi dapat mempercantik wajah keraton sesuai dengan keasliannya.
Alun-Alun Lor dalam Kehidupan Modern
Saat ini, Alun-Alun Lor tetap menjadi pusat kegiatan masyarakat Surakarta. Berbagai acara budaya, festival, dan kegiatan sosial sering diadakan di sini, menjadikannya sebagai ruang publik yang vital bagi warga kota. Keberadaan alun-alun juga menarik wisatawan yang ingin merasakan atmosfer sejarah dan budaya Kota Solo.
Dengan luas yang mencakup area signifikan di pusat kota, Alun-Alun Lor berfungsi sebagai paru-paru kota dan tempat rekreasi bagi masyarakat. Keberadaannya yang strategis di jantung kota menjadikannya sebagai titik temu berbagai lapisan masyarakat, dari pedagang kaki lima hingga seniman jalanan, menciptakan dinamika sosial yang kaya dan beragam.
Kesimpulan
Alun-Alun Lor Surakarta bukan hanya sekadar ruang terbuka di tengah kota, tetapi juga simbol interaksi antara kerajaan dan rakyat, serta cerminan nilai-nilai budaya dan sejarah yang kaya. Melalui upaya pelestarian dan revitalisasi, alun-alun ini diharapkan dapat terus berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya, sekaligus menjadi warisan berharga bagi...
Read moreAlun-alun utara atau dalam Bahasa Jawa disebut Alun-alun Lor merupakan salah satuland mark Kota Yogyakarta yang berupa sebuah tanah lapang yang berada di depan Keraton Yogyakarta. Disebut Alun-alun Lor karena di Kota Yogyakarta terdapat dua alun-alun yang letaknya di sebelah selatan dan utara dari Keraton Yogyakarta.
Alun-alun Lor berbentuk persegi dengan luas 150 x 150 meter dengan dua pohon beringin besar berpagar yang berada di tengah alun-alun. Dua Pohon Beringin Besar itu masing-masing diberi nama Kyai Dewandaru dan Kyai Wijayandaru. Pada masa lalu di sekeliling Alun-alun Lor ditanam 63 Pohon Beringin yang melambangkan umur Nabi Muhammad SAW.
Alun-Alun Lor di Masa Lampau
Beberapa sumber menyebutkan bahwa dulu permukaan alun-alun adalah pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat latihan para prajurit juga untuk unjuk kehebatan di hadapan Sultan. Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritnya. Alun-alun Lor juga digunakan untuk “Tapa Pepe”, yaitu suatu bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari sultan.
Tapa Pepe dilakukan pada siang hari terik di antara dua Pohon Beringin oleh seseorang yang sedang memohon keadilan langsung kepada Sultan. Pada masa lalu di sisi timur alun-alun terdapat pendopo-pendopo kecil yang disebut perkapalan. Perkapalan digunakan oleh para bupati untuk menginap dan beristirahat ketika menghadap sultan.
Pada zaman dahulu, Alun-alun Lor adalah wilayah sakral dimana tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasukinya. Ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, misalnya tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung. Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Alun-Alun Lor sebagai Ruang Publik
Berbeda dengan saat ini, Alun-alun Lor menjadi sebuah ruang publik yang bisa dimanfaatkan oleh setiap orang. Di sini dapat dijumpai berbagai macam pedagang kaki lima yang mengelilingi alun-alun dari pagi hingga malam. Pada waktu-waktu tertentu, seperti Pekan Raya Sekaten, Perayaan Grebeg Maulud Nabi, serta upacara keraton lainnya,
Alun-alun Lor akan menjelma sebagai sebuah tempat yang ramai dan dipadati banyak orang karena acara-acara tersebut selalu digelar di alun-alun ini. Acara lain yang biasa diadakan di sini ini adalah pertunjukan seni budaya, konser musik, pasar malam, sepeda santai, dan aktivitas lainnya.
Perjalanan ke Alun-alun Lor sangat mudah karena letaknya yang berada di tengah-tengah Kota Yogyakarta dengan kemudahan akses menuju ke sana. Jika Anda dari arah jalan Malioboro, maka lurus saja ke arah selatan melewati perempatan nol kilo meter. Dari perempatan nol kilo meter jarak ke Alun-alun Lor sekitar 100 meter.
Berkunjung ke Alun-alun Lor, sempatkan juga untuk mengunjungi tempat wisata yang berada di sekitarnya : Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe, sentra Gudeg Wijilan, sentra wisata Malioboro,...
Read moreAlun-alun Utara jaman dahulu memiliki fungsi, antara lain:
Tempat berkumpul prajurid pada saat akan berangkat perang. Tempat berkumpul rakyat kerajaan pada saat mendengarkan pengumuman pengumuman penting atau Undang-undang dari Raja. Tempat untuk latihan perang. Tempat rampokan (aduan hewan dengan hewan atau dengan manusia). Tempat rakyat jelata ataupun sentono dalem dan abdi dalem melakukan topo pepe (duduk diam diantara dua pohon beringin ditengah alun-alun, untuk dapat dilihat dan dipanggil menghadap raja, sebagai upaya mencari keadilan langsung, atau mohon ampun langsung kepada raja).
Disebut dengan istilah alun-alun, karena diwaktu siang hari disaat sinar matahari panas membakar, tempat tersebut terlihat bergetar bagai ombak mengalun (bahasa Jawa: amun-amun apindo alun). Ada juga pengertian bahwa alun-alun, dari asal kata jawa alon-alon atau berjalan lambat-lambat atau sabar.
Di area Alun-alun Utara, terdpt pasang pohon beringin kembar, antara lain:
Dua buah beringin kembar terletak disebelah selatan Gapura Pamurakan yang dikelilingi masing masing oleh pagar tembok dan besi berwujud segi delapan. Pohon beringin disebelah Timur dinamakan Waringin Wok (beringin perempuan), tempat istirahat para prajurit Bang Wetan; dan disebelah Barat diberi nama Waringin Godeg atau Jenggot (laki-laki), tempat istirahat para prajurid Bang Kulon.Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan diciptakan Allah melalui pria dan wanita (ayah dan ibu), sehingga manusia ada. Sehingga dua pohon beringin tersebut juga merupakan lambang dari kesuburan. Dua pohon beringin kembar terletak tepat ditengah Alun-alun Utara, yang dikenal sebagai Waringin Kurung Sakembaran. Disebut kurung, karena masing masing pohon diberi batas berupa jeruji besi disekitarnya. Pohon beringin sebelah Timur dinamakan Kyai Jayandaru (sinar kemenangan) dan beringin disebelah Barat diberi nama Kyai Dewandaru (sinar Illahi atau sinar keluhuran). Kedua beringin ini merupakan beringin yang dibawa dari karaton lama, pada saat perpindahan karaton dari Kartosura ke Surakarta.
Ringin Kurung Sakembaran mempunyai arti simbolistis: a. Kesempurnaan hidup yang harus dicapai manusia. b. Kemenangan dan keluhuran. c. Kekuasaan dan kebijaksanaan raja (hayom, hayem, dan hayu). d. Pangayoman hukum.
Dengan kata lain, makna tersebut dapat diartikan bahwa manusia harus benar-benar sudah dapat menghilangkan atau mengekang nafsu pribadinya, sehingga dapat mencapai tingkat jaya (kemenangan dalam mencapai hidup sejati). Hal ini diyakini karena bagi manusia yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tersebut, dia akan selalu disinari oleh sinar Illahi (keluhuran...
Read more