Standing on an area of almost 1 hectare, the main building of the mosque measuring 34.2 meters x 33.5 meters can accommodate around 2,000 worshipers. Throughout its journey, this mosque has gone through several additions and renovations. The first building to be made is the main part of the mosque. The first addition was carried out by Pakubuwono IV, who gave a dome at the top of the mosque. Unlike most domes in the Middle Eastern style, the dome in this mosque is Javanese style. The shape resembles an earth nail.
The next addition was carried out by Pakubuwono X. Pakubuwono built a tower around the mosque as well as a sundial to determine prayer times. The entrance of the mosque underwent a change during Pakubuwono X. The door patterned with Javanese buildings with limasan roofs was changed to Middle Eastern pattern - consisting of three doors, with a door in the middle wider than the two doors flanking it. Meanwhile, Pakubuwono XIII built a pond around the main building of the mosque. The construction of this pool is intended so that everyone who will enter the mosque is clean. But, for various reasons, this pool is no longer functioning. In addition, Pakubuwono XIII also built a boarding room and foyer on the front.
The last addition was carried out by the Surakarta Government. Still in the mosque area, added several buildings with different functions. There are libraries, management offices, and polyclinics. In the past, the administrators of this mosque were members of the palace servants. Each administrator must first study at Mam Ba’ul ‘Ulum Madrasah - which is located between the mosque and Pasar Klewer. But now, only the head of the mosque is the court servant - with the title Tafsir Anom. Meanwhile, Madrasah Mam Ba'ul ‘Ulum is managed by the Ministry of Religion and used as education for the general public.
Still around the mosque, precisely to the north, there is a settlement called Kampung Gedung Selirang. This settlement was deliberately built for the residence of the mosque...
Read moreThe largest mosque in Surakarta. It was once the main royal mosque of Kasunanan Surakarta and located west of kindom main square (alun-alun). Funfact, this mosque are larger than Jama Masjid in Delhi, India in term of area. The architecture of the mosque is different than in the Middle East and South Asia. The main roof are not dome shape, but a pyramidal with 3 stories on the main hall. It is also supported by wood pillars which in Javanese called saka. The four main pillar are called saka guru. Besides the main prayer hall, there are also prayer hall which dedicated to female which called pawestren and a semi profane hall on the front part that was called serambi. Just like the roof on the main hall, the roof on the serambi and pawestren also supported by wood pillars. This mosque was also where some royal ceremonies held. Especially if it's related to religious ceremony like garebeg sawal and mulud. The front gate of the mosque also inspired by Mughal architecture, and the minaret also inspired by sayd qutb minaret in India with...
Read morepada masa pra-kemerdekaan adalah masjid agung milik kerajaan (Surakarta Hadiningrat) dan berfungsi selain sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat syiar Islam bagi warga kerajaan. Masjid Agung dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Masjid ini merupakan masjid dengan katagori masjid jami', yaitu masjid yang digunakan untuk salat berjamaah dengan ukuran makmum besar (misalnya salat Jumat dan salat Ied). Dengan status sebagai masjid kerajaan, masjid ini juga berfungsi mendukung segala keperluan kerajaan yang terkait dengan keagamaan, seperti Grebeg dan festival Sekaten. Raja (Sunan) Surakarta berfungsi sebagai panatagama (pengatur urusan agama) dan masjid ini menjadi pelaksana dari fungsi ini. Semua pegawai masjid diangkat menjadi abdi dalem kraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (untuk penghulu) dan Lurah Muadzin untuk juru adzan. Masjid Agung menempati lahan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta merupakan bangunan bergaya tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka (mahkota). Gaya bangunan tradisional Jawa ini adalah khusus untuk bangunan masjid.
Di dalam kompleks Masjid Agung dapat dijumpai berbagai bangunan dengan fungsi kultural khas Jawa-Islam. Juga terdapat maksura, yang merupakan kelengkapan umum bagi masjid kerajaan.
Kawasan pagar Sunting Pagar keliling, dibangun pada masa Sunan Pakubuwana VIII tahun 1858. Gapura, ada tiga pintu masuk, dengan gapura utama berbentuk paduraksa berada di sisi timur menghadap alun-alun dan dua gapura kecil di sisi utara dan selatan. Kawasan halaman masjid Sunting Pagongan, terdapat di sisi utara dan selatan setelah memasuki gapura utama masjid. Bentuk berupa pendapa dengan ukuran bangunan sama. Fungsinya adalah sebagai tempat gamelan kraton diletakkan dan dimainkan sewaktu perayaan Sekaten (festival memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW). Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Salat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
Gedung PGA Negeri,
didirikan oleh Sunan Pakubuwana X (1914) dan menjadi milik kraton. Menara adzan, mempunyai corak arsitektur terinsirasi dari Qutub Minar di Delhi, India. Didirikan pada tahun 1928 (masa Sunan Pakubuwana XI). Istiwak, yaitu gnomon (pancang) yang menjadi bagian jam matahari untuk menentukan waktu salat.
Gedang Selirang , merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid.
Kawasan masjid Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
Ruang Utama, mempunyai empat saka guru dan dua belas saka rawa. Kelengkapan yang ada antara lain adalah mihrab, maksura, dan mimbar sebagai tempat khatib. Pawestren sebagai tempat salat untuk wanita dan balai...
Read more