Camden Bar — Restaurant in Jakarta

Having lived in Camden and frequented too many London pubs in the past, I was expecting this to be a gimmick at best. Not so. The first thing that struck me was that smoking is still allowed inside and I was immediately taken back to the days in the UK when pubs actually smelled of pubs, not the sterile smell of Domestos you get in UK drinking joints nowadays. Don't get me wrong, I'm an ex smoker (and you know how much ex smokers hate smokers) but the place isn't so smokey it gets in your eyes, it was just a nice, warm smell. The smell you'd expect from a cosy, comfortable pub. Good start. Onto the beer. I ordered a 'pint' of Bintang (nice to try Bintang on draught, after all). Now, either I've shrunk over the last decade or pints here are served in glasses large enough to bathe in. My 'pint' was enormous! I had two of those. The interior decor definitely remains faithful but we sat outside to escape the music (a proper pub does not have music, unless it's live or via a jukebox, so it's nice to have an area away from the noise) and were amused to find a British phone box in the corner. Seating is either on benches or little tables and the courtyard is surrounded by vegetation. Nice touch, as are the traditional wall reliefs that do genuinely hark back to a real pub. Food was OK, considering. Staff were a tad surly but hey, it's supposed to be a British pub so they got that right. Unfortunately our time in Jakarta is short but I'd love to go back there for a proper session. All that was missing from the atmosphere was tattooed teenagers in baseball caps squabbling over a battered pool table with broken cues and missing chalk (my wife tells me there was a table with a cover on it), loud football hooligans starting fights with anyone that happens to pass by and debauched girls throwing up over their G&Ts... and thank god for that. Even the toilets were clean and, although I didn't check, probably actually had toilet paper. Why can't all pubs...

An excellent place to drink with a so-so dishes.

Having a bar in a so exclusive Menteng area has its down-side, I paid IDR. 25K for parking on the 7to8-cars-wide's premise right off the bat. O BTW, I came in a mid-month Friday when the weather is windy/cloudy late 5ish pm.

So, they have two areas; indoor and outdoor, all smoking. We (me & wife) decided we'd like to enjoy the weather that late afternoon. It's a decent place with I guess less mosquito than most people reported, maybe because it was windy. I wore shorts and sandals.

Now the 🍺 is the best, I suggest you go for the larger (see pic for comparison). The bigger glass had a thicker foam that preserved the taste and that temperature, oh one to die for.

And the meals, now, this is a bar! We ordered two dishes a idr-40ish-K fettuccine carbonara and a-bit-shy-of-50-K nachos. The Fettuccine is like dipped soup noddle compared to the usual creamy-cream and ruined by a cheap grated, I think it's a Kraft Cheese. The Nacho's, it's so pale like the chef threatened the dish before serving it. However, the taste I'd say a lil bit above average. What I'm trying to say is; the taste is great only the presentation that lacks. Well, it's a bar, the environment is dimmed, and people comes here...

INGATANMU PENDEK, SEPERTI IKAN

Kamu di mana? Aku udah nyampe. Rame banget.

Ada nada khawatir yang aku tangkap ketika membaca pesannya. Mungkin dia baru pertama kali datang ke tempat seperti ini.

Bentar lagi nyampe.

Aku membalas pesannya dan mempercepat langkah kakiku. Di depan bar seorang satpam memeriksa isi tasku sebelum masuk. Dari luar aku mendengar suara musik menggedor-gendor pintu. Saat mendorong pintu bar, ternyata benar apa yang ia katakan.

Bagian dalam bar sudah sesak dengan orang-orang. Sebuah band sedang memainkan musik dengan kencang. Aku tidak ingat lagu apa yang mereka mainkan. Saat itu perhatianku terfokus ke layar ponsel. Aku merangsek melewati kerumunan orang. Seingatku bar ini mempunyai dua bagian, dalam dan luar. Aku berhasil melewati kerumunan orang dan menemukan pintu yang menghubungkan bagian dalam dan luar bar.

Bagian luar bar pun ternyata sudah penuh. Hampir semua meja sudah terisi. Aku mencari meja kosong sambil mengetik pesan. Seorang pelayan menghampiriku dan bertanya butuh meja untuk berapa orang. Aku bilang dua. Cuma ada meja itu, katanya sambil menunjuk sebuah meja di pojok, dekat sebuah pohon jambu, dan yang di depan bar, katanya. Aku mengucapkan terima kasih. Aku mengirim pesan lagi kepadanya.

Kamu di mana? Aku di luar, dekat meja paling pojok.

Mana? Gue kan buta anjiiiiir.

Aku tertawa kecil. Aku lupa kalau penglihatannya bermasalah. Aku mencarinya ke setiap sudut tempat. Buram. Aku lupa kalau penglihatanku juga bermasalah.

Aku baru saja berniat menelepon saat melihatnya berjalan mendekatiku. Langkahnya terlihat ragu. Mungkin ia ingin memastikan kalau orang yang ada di depannya adalah aku.

Aku sudah mengenalnya selama dua tahun, tetapi itu pertama kali aku melihatnya tanpa jilbab. Rambutnya pendek sebahu dan ia ikat ke belakang. Ada beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatannya dan sesekali jatuh dengan halus di depan matanya dan mengingatkanku pada lirik lagu Clairo, how much i love you when your hair is down.

Dan ia memakai kacamata yang selama ini tidak pernah ia pakai meskipun matanya minus. Dan ia terlihat, aduuh aku benci sekali memakai kalimat ini tetapi aku betul-betul tidak bisa menemukan kalimat lain yang lebih pas, cantik sekali. Ya Tuhan, ia terlihat cantiiiiiiiiiik sekali.

"Kamu nggak lihat aku?"

Nada suaranya terdengar gugup. Mungkin karena ia baru pertama kali berkunjung ke tempat ini atau karena ia tidak memakai jilbab di depanku atau karena kita cuma pergi berdua saja. Tetapi kalau saja saat itu ia tahu, aku juga merasakan kegugupan yang sama. Ia terlihat cantik sekali (aduh, maaf keluar lagi kalimat ini) dan itu membuatku betul-betul gugup.

Awalnya kami duduk di meja pojok tetapi kursinya terlalu tinggi dan tidak nyaman diduduki. Kami pindah ke meja di depan bar. Aku duduk dan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju. Ia membuka maskernya.

"Liat aku pake lipstick baru." katanya dengan bibir monyong-monyong seperti ikan.

Gerakan bibirnya malah membuatku tambah gugup. Aku menyembunyikan kegugupanku dengan berpura-pura mengambil rokok dan mencari pelayan. Seorang pelayan datang dan aku meminta daftar menu kepadanya.

"Kamu mau pesan apa?" kataku sambil menyusuri daftar menu. Aku berharap ia tidak menyadari wajahku yang...